Ada suatu kasus, dimana ada seseorang, sebut saja Ahmad misalnya. Semasa hidup orang tuanya, keluarganya belum pernah qurban. Karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan atau rendah. Buat makan sehari-hari saja mereka susah. Kemudian seiring bergulirnya waktu, Ahmad ini menjadi orang yang sukses dan mapan. Kemudian dia punya keinginan yang sangat besar. Yaitu melakukan qurban, dimana qurban tersebut bukan atas dirinya saja, tapi juga atas nama almarhum ibunya atau ayahnya. Karena sewaktu mereka hidup belum pernah berqurban sama sekali.
Maka pada kasus ini, bolehkah seorang anak berqurban atas nama ibu/ayahnya yang telah meninggal? Karena pada hakikatnya qurban dianjurkan bagi yang masih hidup, punya kelebihan harta, tentunya muslim baligh dan berakal. Dan Nabi SAW pernah bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Siapa yang memiliki kelapangan (keluasan harta) tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim)
Anjuran berqurban dari nabi SAW diatas tentunya ditujukan kepada umatnya yang masih hidup. Bukan yang sudah meninggal. Maka bagaimana pendapat para ulama fiqih mengenai qurban untuk orang yang telah meninggal ini. Berikut pendapat dari ulama fiqih yang bisa dikumpulkan penulis:
1. Tidak Sah
Pendapat ini, merupakan pendapat resmi dalam madzhab Asy-Syafi’i. Sebagaimana yang dijelaskan Imam An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Minhaj:
ولا تضحية عن الغير بغير إذنه ولا عن ميت إن لم يوص بها
Tidaklah seseorang melakukan qurban atas orang lain tanpa seijinnya, dan tidak pula atas mayyit (orang yang telah meninggal), jika almarhum tidak berwasiat untuk berqurban. [1]
Jadi kalau seandainya tidak ada wasiat dari orang yang telah meninggal tersebut untuk berqurban semasa hidupnya, maka qurban atas almarhum tersebut tidak sah menurut pendapat pertama ini. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab beliau juga menjelaskan sebagai berikut: “Dalil yang dipakai pendapat madzhab Asy-Syafi’i tidak boleh berqurban atas orang yang telah meninggal adalah firman Allah:
{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النجم: 39]
Tidaklah bagi manusia kecuali apa yang dia usahakan. (QS.An-Najm: 39)
Kalau seandainya hanya melaksanakan wasiat dari almarhum maka boleh. qurbannya sah. Dengan ketentuan, wajib bagi yang menjalankan wasiat tersebut untuk membagikan semua daging hewan qurban kepada faqir miskin. Tidak buat yang melakukan qurban dan tidak boleh pula memberikannya kepada orang kaya”.[2]
2. Boleh dan Sah
Ini merupakan pendapat jumhur ulama yaitu ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Berdasarkan hadis Ali:
أن عليا رضي الله عنه كان يضحي عن النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين، وقال: إنه صلى الله عليه وسلم أمره بذلك.
Bahwasanya Ali RA pernah berqurban atas nabi SAW dengan menyembelih dua ekor kibasy. Dan beliau berkata: Bahwasanya nabi SAW menyuruhnya melakukan yang demikian. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad, Hakim dan Al-Baihaki)
Pendapat kedua ini mengambil kesimpulan bahwa Ali menyembelih dua ekor hewan qurban, dimana satu hewan qurban atas diri beliau, dan satunya adalah qurban Nabi SAW yang telah meninggal pada waktu itu. Al-Kasani (w. 587H) salah seorang ulama Hanafiyah menjelaskan, dalil yang digunakan madzhab Hanafi dalam masalah ini adalah istihsan.
الاستحسان أن الموت لا يمنع التقرب عن الميت بدليل أنه يجوز أن يتصدق عنه ويحج عنه، وقد صح أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ضحى بكبشين أحدهما عن نفسه والآخر عمن لا يذبح من أمته - وإن كان منهم من قد مات قبل أن يذبح - فدل أن الميت يجوز أن يتقرب عنه فإذا ذبح عنه صار نصيبه للقربة فلا يمنع جواز ذبح الباقين.
Berdasarkan istihsan, kematian tidak menghalangi seseorang bertaqarrub (melakukan kebaikan) atas orang yang telah meninggal. Dengan dalil seseorang boleh bersedekah untuknya dan menghajikannya. Dan dalam sebuah hadis shahih juga disebutkan, “bahwasanya rasulullah SAW berqurban dengan dua ekor kibasy, dimana satu kibasy adalah qurban beliau, dan satunya lagi untuk qurban umatnya yang tidak/belum pernah berqurban.”[3] Diantara umatnya termasuk juga yang telah meninggal dunia sebelum dia berqurban. Ini menunjukkan bahwa boleh melakukan kebaikan atas orang yang meninggal dunia. Jika dia menyembelihkan qurban atasnya, orang yang meninggal tersebut akan mendapat ganjaran pahala atas kebaikan tersebut… [4]
Al-Buhuti (w.1051H) salah ulama Hanabilah dalam kitab beliau juga menyebutkan:
التضحية (عن ميت أفضل) منها عن حي. قاله في شرحه لعجزه واحتياجه للثواب (ويعمل بها) أي الأضحية عن ميت (ك) أضحية (عن حي) من أكل وصدقة وهدية
Qurbannya orang yang sudah meninggal dunia lebih utama dari qurbannya orang yang masih hidup. Karena ketidakberdayaan mayyit dan dia lebih membutuhkan pahala. Pelaksanaan qurban atas mayyit sama seperti pelaksanaan qurban orang yang hidup, dari yang dimakan dagingnya, disedekahkan dan dihadiahkan. [5]
Namun hal yang berbeda antara ulama Hanafiyah dan Hanabilah terkait boleh tidaknya daging qurban atas mayyit dimakan atau dikonsumsi sendiri buat yang melakukan qurban. Karena qurbannya bukan atas dirinya, tapi atas mayyit atau orang yang telah meninggal yang dia ingin hadiahkan pahala qurban.
Madzhab hambali dalam hal ini membolehkan, sedangkan madzhab Hanafi mereka melarang daging qurbannya itu untuk diambil, dimakan orang yang berqurban kalau qurban itu statusnya wasiat atau perintah dari yang meninggal semasa hidupnya. Tapi kalau qurban tersebut merupakan bentuk sukarela, bukan wasiat, maka yang melakukan qurban boleh mengambil, memakan daging qurban tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan imam Ibnu Abdin salah seorang ulama Hanafiyah berikut:
قوله وعن ميت) أي لو ضحى عن ميت وارثه بأمره ألزمه بالتصدق بها وعدم الأكل منها، وإن تبرع بها عنه له الأكل لأنه يقع على ملك الذابح والثواب للميت)
Kalau ada ahli waris yang berqurban untuk orang yang sudah meninggal karena perintahnya (wasiat), maka ahli waris ini wajib menyedekahkan daging qurban tersebut tanpa mengambil untuk memakannya. Tapi, kalau qurban tersebut dilakukan karena sukarela berbuat baik kepada yang meninggal, dia boleh memakan, karena statusnya dia pemilik qurban, dan bagi yang meninggal pahalanya. [6]
3. Makruh
Pendapat ini merupakan pendapat dari ulama Malikiyah. Bagi mereka makruh hukumnya berqurban atas orang yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang dikatakan Al-Kharsyi salah seorang ulama Malikiyah:
وفعلها عن ميت (ش) يعني أنه يكره للشخص أن يضحي عن الميت خوف الرياء والمباهاة ولعدم الوارد في ذلك وهذا إذا لم يعدها الميت وإلا فللوارث إنفاذها
Makruh bagi seseorang melakukan qurban atas orang yang sudah meninggal. Karena dikhawatirkan menjadi riya atau pamer. Dan juga tidak ada dalil dari nabi atas yang demikian itu. Kecuali atas permintaan almarhum semasa hidupnya, maka bagi ahli waris melaksanakannya. [7]
Imam Malik juga mengatakan:
ولا يعجبني أن يضحي عن أبويه الميتين
Dan aku tidak merasa takjub kepada orang yang berqurban atas orang tuanya yang telah meninggal dunia. [8]
Dalam sebuah riwayat lain, imam Malik juga berucap:
“أكره أن يرسل لمناحة “
Aku memakruhkan mengirim (pahala qurban ) bagi orang yang sudah meninggal. [9]
Dari pemaparan pendapat-pendapat para fuqaha di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
[1] An-Nawawi (w.676H), Al-Minhaj, jilid.1, hal. 321
[2] Wahbah Az-Zuhaili (w.2015M), Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jilid 4, hal. 2744.
[3] HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tarmidzi
[4] Al-Kasani, Badai’ As-Shanai’, jilid.5, hal.72.
[5] Al-Buhuti, Syarh Al-Muntaha Al-Iradat, jilid. 1, hal. 612.
[6] Ibnu Abdin, Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 3, hal. 335.
[7] Al-Kharsyi, Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 3, hal.42.
[8] Al-Hattab Al-Ru’aini, Mawahib Al-Jalil, jilid. 3, hal. 247.
[9] Al-Gharnathi, At-Taj wa Al-Iklil, jilid. 4, hal. 378
Perbedaan Jual Beli Salam dan Ishtishna
Isnawati, Lc., MA | 16 March 2018, 12:08 | 76.693 views |
Bolehkah Aqiqah dengan Sapi?
Isnawati, Lc., MA | 26 August 2017, 14:35 | 10.745 views |
Bolehkah Qurban untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?
Isnawati, Lc., MA | 24 August 2017, 03:35 | 14.803 views |
Apakah Dalil Adalah Nash Al-Quran dan Hadis?
Isnawati, Lc., MA | 22 July 2017, 11:57 | 13.876 views |
Konsekuensi Bagi Ibu Hamil dan Menyusui yang meninggalkan Puasa, Qadha atau Fidyah?
Isnawati, Lc., MA | 29 May 2017, 17:10 | 10.734 views |
Hukum Wanita Hadir Shalat Berjamaah di Masjid Menurut Ulama Empat Madzhab
Isnawati, Lc., MA | 19 May 2017, 05:18 | 57.320 views |
Haruskah Niat Puasa dengan Redaksi Khusus
Isnawati, Lc., MA | 18 May 2017, 13:23 | 4.971 views |
Bisakah Hafalan Al-Quran Dijadikan Mahar?
Isnawati, Lc., MA | 24 December 2016, 05:08 | 7.999 views |
Benarkah Madzhab Maliki Membolehkan Wanita Haidh Membaca Al-Quran?
Isnawati, Lc., MA | 6 December 2016, 11:05 | 12.720 views |
Ahmad Zarkasih, Lc | 106 tulisan |
Hanif Luthfi, Lc., MA | 66 tulisan |
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA | 57 tulisan |
Ahmad Sarwat, Lc., MA | 48 tulisan |
Isnan Ansory, Lc, MA | 26 tulisan |
Firman Arifandi, Lc., MA | 23 tulisan |
Sutomo Abu Nashr, Lc | 20 tulisan |
Aini Aryani, Lc | 19 tulisan |
Galih Maulana, Lc | 15 tulisan |
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 13 tulisan |
Ali Shodiqin, Lc | 13 tulisan |
Isnawati, Lc., MA | 9 tulisan |
Muhammad Ajib, Lc., MA | 9 tulisan |
Siti Chozanah, Lc | 7 tulisan |
Tajun Nashr, Lc | 6 tulisan |
Maharati Marfuah Lc | 5 tulisan |
Faisal Reza | 4 tulisan |
Ridwan Hakim, Lc | 2 tulisan |
Muhammad Aqil Haidar, Lc | 1 tulisan |
Muhammad Amrozi, Lc | 1 tulisan |
Luki Nugroho, Lc | 0 tulisan |
Nur Azizah, Lc | 0 tulisan |
Wildan Jauhari, Lc | 0 tulisan |
Syafri M. Noor, Lc | 0 tulisan |
Ipung Multinigsih, Lc | 0 tulisan |
Solihin, Lc | 0 tulisan |
Teuku Khairul Fazli, Lc | 0 tulisan |
Jadwal Shalat DKI Jakarta20-1-2021Subuh 04:29 | Zhuhur 12:05 | Ashar 15:29 | Maghrib 18:20 | Isya 19:32 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Materi | Buku | PDF | Ustadz | Mawaris | Video | Quran | Pustaka | Radio | Jadwal Link Terkait : Sekolah Fiqih | Perbandingan Mazhab | img
|