Kemenag RI 2019 : Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Prof. Quraish Shihab : Bukanlah memalingkan wajah kamu ke arah timur dan barat (itu suatu) kebajikan, tetapi kebajikan (itu) ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, dan orang-orang yang meminta-minta; dan (orang yang memerdekakan) hamba sahaya, dan melaksanakan shalat dengan sempurna, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji mereka apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Prof. HAMKA : 177. Bukanlah kebajikan itu lantaran kamu memalingkan mukamu ke arah timur dan barat. Akan tetapi, kebajikan itu ialah bahwa kamu percaya kepada Allah dan hari yang akhir dan Malaikat dan Kitab dan nabi-nabi. Dan, memberikan harta atas cinta kepadanya, kepada keluarga yang hampir dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan anak perjalanan dan orang-orang yang meminta dan penebus hamba sahaya. Dan, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang akan memenuhi janji mereka apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar di waktu kepayahan dan kesusahan dan seketika peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Para ulama berbeda pendapat tentang kepada siapakah ayat ini ditujukan ketika turun di masa kenabian. Sebagian mengatakan ayat ini ditujukan kepada kaum Yahudi di Madinah yang masih tidak rela menerima kenyataan bahwa kaum muslimin akhirnya berpindah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjid Al-Haram di Mekkah.
Ibu Jarir Ath-Thabari menyebutkan bahwa ayat ini turun untuk kaum Yahudi dan Nasrani, karena terkait dengan konteks ayat-ayat sebelumnya yang juga sedang membicarakan keberatan pemeluknya dengan pemindahan kiblat kaum muslimin.[1]
Namun sebagian ulama lain meragukan hal itu, karena konten ayat ini banyak menyebut hal-hal terkait keimanan kepada Allah, malaikat, kitab suci dan juga keimanan kepada para nabi. Kalau ada ayat Al-Quran bertema keimanan seperti ini, rasanya lebih tepat ditujukan kepada kaum musyrikin Arab dimana mereka memang bermasalah dengan tema-teman keimanan mendasar. Sedangkan kaum Yahudi umumnya tidak bermasalah dengan rukun iman yang enam, sebab di masanya justru mereka lah yang berdakwah kemana-mana tentang rukun iman yang enam itu.
Prof. Dr. Quraish Shihab menyebutkan bahwa yang lebih baik adalah pandangan bahwa ayat ini diturunkan untuk semua pihak, bukan hanya khusus buat kalangan tertentu, entah itu Yahudi, Nasrani atau orang-orang musyrikin Arab saja. Beliau menegaskan bahwa ayat ini menggarisbawahi kekeliruan bahwa banyak di antara mereka yang hanya mengandalkan shalat atau sembahyang saja. Ayat ini bermaksud menegaskan bahwa yang demikian itu bukan kebajikan yang sempurna, atau bukan satu-satunya kebajikan.[2]
[2] Prof. Dr. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Quran (Tangerang, PT. Lentera Hati, 2017), jilid 1 hal. 467-468
لَيْسَ الْبِرَّ
Kata laisa (لَيْسَ) bermakna “bukanlah”. Sedangkan al-birr (الْبِرَّ) secara umum diterjemahkan menjadi : “kebaikan”. Secara bahasa asalnya dari al-barr (البَرّ) yang maknanya daratan luas.
Namun para ulama mengatakan makna yang lebhi dalam adalah berbuat kebaikan sebesar-besarnya. Thahir Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir menyebutkan bahwa maknanya adalah :
Lafazh tuwallu (تُوَلُّوا) adalah fi’il mudhari’ dari (وَلَّى - يُوَلِّي) bermakna : “menghadap” atau bisa juga maknanya “berpaling”, tergantung siyaq-nya. Namun dalam konteks ayat ini makna yang lebih tepat adalah : “menghadap”.
Lafazh wujuhakum (وُجُوهَكُمْ) secara bahasa artinya wajah-wajah kalian. Namun para ulama ahli fiqih sepakat bahwa yang dimaksud dengan menghadap kiblat dalam shalat itu bukan wajah melainkan dada.
Oleh karena itu apabila seorang yang sedang shalat menolehkan wajah ke kanan, ke kiri, ke atas atau ke bawah, semua itu tidak membatalkan shalat, hanya menjadi hal yang sebaiknya dihindari dan kurang disukai. Sedangkan yang membatalkan shalat ketika dadanya sudah tidak lagi menghadap ke arah kiblat.
Lafazh qibala (قِبَلَ) dimaknai sebagai arah, sedangkan al-masyriq (الْمَشْرِقُ) merupakan isim makan (menunjukkan tempat) dimana secara harfiyah merupakan tempat dimana matahari terbit. Namun yang dimaksud sebenarnya adalah : arah Timur. Lalu al-maghrib (الْمَغْرِبُ) secara makna harfiyah maksudnya adalah tempat dimana matahari terbenam. Namun yang dimaksud adalah arah Barat.
Al-Qurtubi menuliskan di dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran bahwa menurut Ar-Rabi’ dan Qatadah ayat ini turun karena adanya perdebatan di antara kaum Yahudi dan Nasrani yang saling berbeda dalam menghadap kiblat shalat masing-masing. Kaum Yahudi maunya shalat menghadap ke arah Barat, yaitu menghadap Baitul Maqdis. Sebaliknya kaum Nasrani lebih suka menghadap ke Timur, yaitu arah matahari terbit. Maka Allah SWT turunkan penegasan bahwa kebaikan yang diajarkan agama Allah SWT itu bukan perkara menghadap ke Barat atau ke Timur, tetapi kebaikan yang dimiliki oleh mereka yang disebutkan ayat ini. [1]
[1] Al-Qurthubi (w. 681 H), Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, (Cairo - Darul-Qutub Al-Mishriyah –Cet. III, 1384 H- 1964 M), jilid 2 hal. 238
وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ
Lafazh walakinna (وَلَٰكِنَّ) adalah bentuk penolakan yang diartikan menjadi : “tetapi”. Maksudnya Allah SWT menyanggah pendapat mereka yang memandang bahwa cukup menghadap ke suatu arah dalam shalat itu sudah dianggap sebagai seluruh kebaikan dalam beragama.
Kalimat al-birru man amana billah (الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ) secara makna kalimat terasa janggal, yaitu “kebaikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah”. Seharusnya kebaikan itu sebutan untuk suatu aktifitas, bukan sebutan untuk orang. Oleh karena itu menurut para ulama, ada kata yang ditertutupi (mahdzuf) dengan taqdir sebagai berikut :
ولكنّ البرَّ (برُّ) من آمن بالله
“Namun kebaikan itu adalah (sebagaimana kebaikannya) orang yang beriman kepada Allah”.
Lengkapnya Allah SWT menolak klaim sepihak kaum Yahudi dan Nasrani yang mengira bahwa shalat mereka menghadap ke Barat dan Timur itu sebagai kebaikan yang sudah tuntas. Padahal yang sebenarnya itu adalah kebaikannya versi kaum musimin, yang terdiri dari empat point utama dengan masing-masing rinciannya, yaitu :
[1]. Beriman kepada :
a. Allah (آمَنَ بِاللَّهِ)
b. Hari Akhir (وَالْيَوْمِ الْآخِرِ)
c. Malaikat-malaikat (وَالْمَلَائِكَةِ)
d. Kitab suci (وَالْكِتَابِ)
e. Para nabi (وَالنَّبِيِّينَ)
[2]. Bersedekah harta yang dicintainya (وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ) kepada :
a. Kerabat (ذَوِي الْقُرْبَىٰ)
b. anak yatim (وَالْيَتَامَىٰ)
c. orang miskin (وَالْمَسَاكِينَ)
d. ibnu sabil (وَابْنَ السَّبِيلِ)
e. peminta-minta (وَالسَّائِلِينَ)
f. budak (وَفِي الرِّقَابِ)
[3]. Beribadah :
a. melaksanakan salat (وَأَقَامَ الصَّلَاةَ)
b. menunaikan zakat (وَآتَى الزَّكَاةَ)
[4]. Adab dan Mental Spiritual
a. menepati janji apabila berjanji (وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا)
b. sabar (وَالصَّابِرِينَ)
• dalam kemelaratan (فِي الْبَأْسَاءِ)
• dalam penderitaan (وَالضَّرَّاءِ)
• dalam masa peperangan (وَحِينَ الْبَأْسِ)
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
Lafazh aamana (آمَنَ) artinya beriman, yaitu meyakini eksistensi Allah SWT. Bisa kita komparasikan dengan dialog antara Nabi Ibrahim dengan Allah SWT yang menanyakan apakah Ibrahim tidak yakin.
قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۖ قَالَ بَلَىٰ
Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya (QS. Al-Baqarah : 260)
Sebenarnya kalau hanya berhenti sampai ke titik menyakini keberadaan Allah SWT, tidak ada sedikit pun masalah antara dakwah Nabi Muhammad SAW dengan apa yang diyakini oleh bangsa Arab musyrikin kala itu. Mereka semua juga meyakini keberadaan Allah. Mereka namakan Ka’bah dengan Baitullah yaitu rumah milik Allah. Setiap mengawali pekerjaan yang baik, mereka ucapkan bismikallahuma (بسمك اللهم). Bahkan seorang Abdul Muththalib menamakan anak bungsunya dengan nama : hamba Allah alias Abdullah.
Sejatinya justru tidak pernah ditemukan dalam sejarah antropologi peadaban manusia sebuah tatanan masyarakat yang tidak bertuhan, apapun konsep ketuhanannya. Dan masyarakat musyrikin Arab justru sudah lebih spesifik, yaitu mereka mengenal tuhannya bernama Allah dan meyakini keberadannya sebagai tuhan.
Lantas apa yang membedakan antara imannya Nabi SAW dengan imannya kaum musyrikin Arab? Jawabannya adalah sambungan berikutnya yaitu iman kepada hari akhir, malaikat, kitab suci dan para nabi.
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Orang kafir musyrikin tidak beriman dan menolak mati-matian konsep hari akhir, mulai dari alam barzakh, hari kiamat, hari kebangkitan, hisab, hari pembalasan, surga, neraka dan seterusnya. Dan pada titik itulah duduk persoalan yang sesungguhnya yang telah mengharu-biru perjalanan dakwah Nabi SAW selama ini.
Maklum saja, karena keberadaan nabi terakhir di negeri mereka memang sudah terlalu lama jaraknya, sehingga kalau urusan keimanan kepada hari akhir itu sudah lenyap tak berbekas di negeri mereka, kita bisa memahami konteksnya. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua nabi yang disebut-sebut dalam sejarah sebagai nabi yang pernah datang ke Mekkah.
Para sejarawan di hari ini memperkirakan bahwa Nabi Ibrahim itu hidup sekitar tahun 1997 sebelum Masehi. Berarti jarak waktu yang terbentang hingga kehidupan bangsa Arab di masa kelahiran Nabi Muhammad SAW tahun 571 Masehi cukup jauh. Kira-kira 26 abad lamanya. Wajar bila mereka masih kenal Allah, Baitullah dan Ibrahim, tetapi mereka sudah kehilangan jejak terhadap keyakinan samawi, baik itu kitab suci, kenabian, malaikat dan juga konsep hari akhir.
Keadaannya jauh berbeda dengan karakteristik kekafiran orang-orang di Madinah sewaktu Nabi SAW hijrah. Mereka kebanyakannya sudah banyak bergaul dengan para pendatang Yahudi sejak lama, sehingga konsep keimanan kepada malaikat, kenabian, kitab suci, syariah, hari akhir dan lainnya, bukan hal yang asing lagi bagi Arab Madinah di masa itu.
Oleh karena itulah ketika menyatakan beriman, orang-orang munafikin yang mana mereka merupakan penduduk Madinah, sudah dengan lengkap menyebutkan point-point utama keimanan, yaitu beriman kepada Allah dan kepada hari akhir.
وَالْمَلَائِكَةِ
Para malaikat itu memang kasat mata alias makhluk ghaib, punya kemampuan luar biasa, bukan tandingan manusia. Namun begitu mereka adalah hamba-hamba Allah SWT yang amat mulia. Saking mulianya para malaikat itu, sampai keberadaan mereka harus menjadi keyakinan kita juga, tegak lurus dengan keyakinan kita kepada keberadaan Allah SWT.
بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ
Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, (QS. Al-Anbiya : 26)
Para malaikat itu pekerjaannya hanyalah menyembah Allah, bertasbih dan bersujud.
Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud. (QS. Al-Araf : 206)
Tidak pernah membantah, durhaka apalagi melawan. Selalu menjalankan apa yang Allah SWT perintahkan.
Dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim : 6)
Dan keberadaan malaikat itu sangat dekat dengan kita, bahkan Allah SWT menugaskan jenis malaikat tertentu untuk menguntit kemana pun dia pergi dan berada, untuk mencatat semua amalnya.
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. (QS. Ar-Rad : 11)
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf : 18)
Namun bangsa Arab pada dasarnya tidak mengenal konsep malaikat, atau kalau pun mengenal malaikat namun konsep mereka tentang malaikat salah, keliru dan sesat. Sebutlah misalnya dengan entengnya mereka bilang bahwa malaikat itu adalah anak perempuannya Allah SWT.
Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). (QS. An-Nahl : 57)
Ini jelas penghinaan kepada Allah SWT dan juga kepada malaikat.
وَالْكِتَابِ
Lafazh kitab (كتاب) dalam bahasa Arab modern adalah buku. Namun di dalam Al-Quran, kitab itu tidak harus selalu berwujud buku seperti yang kita kenal. Apalagi bangsa Arab di masa itu pun belum mengenal mesin cetak, sehingga jangan membayangkan kitab itu berwujud buku seperti yang kita kenal di zaman sekarang.
Namun demikian, umumnya para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan kitab tidak lain adalah kitab suci samawi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul.
Bangsa Arab lagi-lagi tidak punya konsep tentang kitab suci samawi. Dan oleh karena itulah mereka disebut bangsa yang ummi, dimana salah satu maknanya selain tidak bisa baca tulis, adalah tidak mengenal kitab suci samawi. Ibnu Abbas sebagaimana dikutip oleh Al-Mawardi mengatakan bahwa kaum yang ummi tidak punya konsep adanya firman Allah SWT dalam bentuk kitab suci samawi yang turun dari langit. Kalau pun mereka punya kitab suci, maka itu hasil tulisan mereka sendiri dan bukan wahyu dari Allah SWT.
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ
Di antara mereka ada yang umi : tidak mengenal kitab samawi. (QS. Al-Baqarah : 78)
Padahal sudah ada banyak kitab suci yang diturunkan kepada umat terdahulu cukup banyak seperti Zabur, Taurat, Injil, shuhuf Ibrahim dan shuhuf Musa, serta lain-lainnya yang mungkin belum disebutkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :
Dari Abi Dzar radhiyallahuanhu, dia bertanya,"Ya Rasulllah, berapa kitab yang Allah turunkan?.Nabi SAW menjawab,"Seratus empat kitab. Allah turunkan 50 shahifah kepada Nabi Syits, kepada Akhnun (Nabi Idris) 30 shahifah, kepada Ibrahim 10 shahifah, kepada Musa sebelum Taurat 10 shahifah, dan Allah menurunkan Taurat, Injil, Zabur dan Al-Furqan (Al-Quran).
Dari semua itu memang tidak ada satupun yang diturunkan di negeri Arab. Wajar kalau mereka tidak mengenal sosok kitab suci samawi sebelumnya. Dan ketika Allah SWT tiba-tiba menurunkan Al-Quran, mereka pun otomatis menolak mentah-mentah.
وَالنَّبِيِّينَ
Bangsa Arab musyrikin juga tidak mengenal konsep kenabian. Memang mereka mengenal leluhur mereka Nabi Ibrahim dan Ismail, namun dalam sudut pandang mereka, keduanya bukan utusan Allah. Keduanya hanya tokoh besar yang mereka muliakan. Tidak ada hubungannya dengan wahyu dan syariat yang turun dari langit.
Kalau pun dijelaskan bahwa Allah SWT mengutus nabi dan rasul membawa risalah, mereka pun mempertanyakan, kenapa utusan Allah SWT hanya berupa manusia biasa yang memakan makanan dan berjalan di pasar?
Dan mereka berkata: "Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?, (QS. Al-Furqan : 7)
Dalam logika mereka, kalau pun misalnya Allah SWT mengutus utusan dari langit membawa risalah, setidak-tidaknya jangan berupa manusia biasa.
Maka mereka berkata: "Bagaimana kita akan mengikuti seorang manusia (biasa) di antara kita?" Sesungguhnya kalau kita begitu benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila". (QS. Al-Qamar : 24)
Konsep al-birr di bidang yang pertama berhenti sampai disini, yaitu meyakini keberadaan Allah, hari akhir, malaikat dan kitab.
وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ
Penggalan ayat ini dan seterusnya masuk kepada konsep al-birr bidang yang kedua, yaitu hal-hal yang terkait dengan mengeluarkan harta benda. Secara khusus Allah SWT menyebutkan bahwa harta yang dikeluarkan itu adalah harta yang dicintai (عَلَىٰ حُبِّهِ). Lantas apa yang dimaksud dengan harta yang dicintai?
Sebagian menduga maksudnya sebenarnya si pemilik pun sangat membutuhkan harta itu untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Boleh jadi mereka memang punya harta, tetapi jumlahnya sedikit dan terbatas. Maka dikatakan bahwa harta itu dicintai dengan maksud kalau pun harus berbagai maka sebenarnya tidak cukup.
Dengan dasar logika ini, menurut mereka maka pemberian ini di luar kewajiban zakat. Sebab zakat itu tidak diperintahkan kecuali bila memang jumlahnya sudah memenuhi nishab. Dan harta yang memenuhi nishab itu bukan harta yang sedikit. Apalagi dalam zakat ada ketentuan harus telah dimiliki minimal satu tahun (haul), maka nishab dan haul itu jelas-jelas menunjukkan bahwa harta itu lebih dari sekedar cukup, bahkan boleh dibilang berlimpah.
Di dalam ayat lain juga disebutkan bagaimana Allah SWT mewajibkan zakat atas orang yang menimbun emas dan perak. Emas dan perak yang sedikit tentu tidak disebut ditimbun, karena yang disebut dengan ditimbun itu hanya harta banyak saja, berlebih dan lebih dari cukup.
ذَوِي الْقُرْبَىٰ
Istilah dzawi (ذَوِي) artinya yang memiliki sedangkan makna al-qurba (الْقُرْبَىٰ) adalah dekat atau kedekatan. Dalam terjemah versi Kemenag dan juga Quraish Shihab diartikan menjadi kerabat, namun Buya HAMKA menuliskan artinya adalah : “keluarga yang hampir”.
Namun makna kerabat sendiri dalam bahasa Indonesia adalah orang yang punya pertalian keluarga. Para ulama membagi menjadi tiga arah, yaitu ke atas seperti ayah, ayahnya ayah dan seterusnya. Namun ibu dan ke atasnya tidak dianggap kerabat. Lalu kerabat ke bawah yaitu anak, anaknya anak dan seterusnya. Lalu kerabat ke samping yaitu saudara atau saudari dan ke anak-anaknya atau keponakan.
Lepas dari itu semua, satu hal yang patut dicatat bahwa sebenarnya mereka disebutkan sebagai penerima harta karena mereka itu miskin. Namun karena orang miskin itu banyak, maka yang diberikan prioritas justru orang-orang miskin yang masih punya hubungan pertalian keluarga. Nabi SAW bersabda :
Sedekah kepada orang miskin itu sedekah, sedangkan sedekah kepada keluarga punya dua nilai, yaitu sedekah dan silaturrahim. (HR. Ahmad)
أفْضَلُ الصَّدَقَةِ عَلى ذِي الرَّحِمِ الكاشِحِ
Sedekah yang paling utama adalah kepada keluarga.
وَالْمَسَاكِينَ
Secara bahasa, menurut Ibnul Manzdhur dalam kamus Lisanul Arab, kata miskin itu berasal dari kata al-maskanah (المـسكنة) yang artinya kerendahan, al-khudhu’ (الخضوع) yang artinya sub-ordinasi dan adz-dzull (الذل) yang bermakna juga kerendahan. [1]
Al-Fairuz Abadi dalam kamus Al-Muhith menyebutkan bahwa miskin adalah orang yang tidak punya harta apapun (من لا شيء له). Miskin juga bermakna kerendahan dan kelemahan.[2]
Sedangkan secara istilah dalam disiplin ilmu fiqih, kata miskin didefinisikan dengan beberapa ungkapan yang berbeda-beda oleh para ulama.
Mazhab Asy-Syafi’iyahmengungkapkan istilah miskin sebagai orang yang memiliki sekadar harta atau penghasilan, yang bisa menutup kebutuhan tertentu tetapi belum mencukupi.[4]
Mahzab Al-HanabilahMazhab ini mengungkapkan istilah miskin sebagai orang dengan kategori sudah punya harta dan hartanya itu bisa mencukupi banyak hal dari kebutuhannya meski belum semua, setidaknya di atas 50 persen dari kebutuhan.[5]
Orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang faqir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya.
Pembagian kedua istilah ini bukan sekedar mengada-ada, namun didasari oleh firman Allah SWT berikut ini :
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut. (QS. Al-Kahfi : 79)
Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih punya pekerjaan yaitu mencari ikan di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin itu lebih buruk keadaannya dari orang faqir. Hal ini didasarkan kepada makna secara bahasa dan juga nukilan dari ayat Al-Quran juga.
أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
atau kepada orang miskin yang sangat fakir.(QS. Al-Balad : 16)
[1] Lisanul Arab oleh Ibnul Mandzhur jlid 3 hal. 216
Secara bahasa, istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yaitu ibnu yang berarti anak laki-laki, dan sabil yang berarti jalan. Namun ibnu sabil bukan berarti anak jalanan, melainkan bermakna
Orang yang terputus dari hartanya, baik di luar negerinya, atau di dalam negerinya atau melewatinya.
Jadi kira-kira dalam ungkapan yang lebih sederhana di masa sekarang ini, ibnu sabil bisa kita sebut sebagai orang yang kehabisan bekal perjalanan, khususnya harta, dan tidak mampu untuk meneruskannya atau kembali lagi ke rumahnya.
Ada beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama bagi ibnu sabil, agar berhak mendapatkan harta zakat, antara lain :
Syarat ini menegaskan bahwa bila seorang musafir masih punya harta dari jenis yang lain, yang bisa mengantarkannya sampai ke rumahnya, maka dia belum termasuk mustahik zakat.
Misalnya, seseorang kehabisan uang tunai di perjalannya, tetapi dia punya barang berharga seperti emas, berlian, pakaian, perhiasan, atau apapun yang bisa dijualnya atau dijadikan jaminan untuk hutang buat ongkos pulang, maka pada hakikatnya dia masih punya harta.
Demikian juga bila masih punya kendaraan untuk pulang, entah dengan cara menjualnya atau menaikinya, maka pada dasarnya dia masih bisa pulang tanpa harus disantuni dari harta zakat.
Seorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan memang berhak menerima santunan dari zakat, dengan syarat perjalanannya itu bukan perjalanan yang maksiat dan tidak diridhai Allah SWT.
Perjalanan itu tidak harus merupakan perjalanan ibadah seperti haji atau menuntut ilmu, asalkan perjalanan itu mubah, seperti tamasya, silaturahim atau bisnis yang halal, maka sudah termasuk memenuhi syarat.
Sebaliknya, bila niat besar perjalanan itu adalah untuk merampok, mencuri, korupsi, atau bermabuk-mabukan bahkan berzina, maka bila dia kehabisan bekal dan uang, tidak boleh disantuni dari harta zakat.
Syarat ini khusus hanya diajukan oleh mazhab Al-Malikiyah saja. Bila orang itu kaya di tempat tinggalnya, dan dia bisa berhutang untuk nantinya diganti dengan hartanya setelah kembali, maka menurut Al-Malikiyah, orang itu tidak berhak menerima santunan dari harta zakat.
Di antara mereka yang termasuk ke dalam kelompok ibnu sabil di masa kita sekarang ini adalah para tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta di negeri orang.
Diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri sebesar 4,5 juta orang. Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70 %) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur.
Dari sisi usia, sebagian besar mereka berada pada usia produktif (diatas 18 tahun sampai 35 tahun), namun ditengarai banyak juga mereka yang sebenarnya berada pada usia anak-anak. Kenyataan ini terjadi karena mereka banyak yang dipalsukan identitas dokumen perjalanannya. Selebihnya, sekitar 30 % adalah laki-laki, bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa.[1]
Nasib mereka sungguh menyedihkan dengan sejuta kisah sedih. Di negeri sendiri tidak bisa mencari nafkah halal dan cukup, lalu merantau ke mancanegara dengan harapan bisa memperbaiki kehidupan.
Namun alih-alih bisa memperbaiki nasib, yang terjadi justru badai derita yang tak ada habisnya. Sudah disiksa hingga cacat seumur hidup, diperkosa beramai-ramai, bahkan tidak sedikit yang meregang nyawa karena kerasnya siksaan, gaji mereka tidak dibayarkan, lalu dikejar-kejar polisi di negara setempat, diadili dengan cara zalim karena tidak ada paham bahasanya, tanpa pembela dan tanpa tahu cara membela diri.
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Adz-Dzariyat : 19)
Lantas bagaimana dengan pengemis? Apakah mereka bisa dimasukkan ke dalam kategori as-sailin (السَّئِلِيْن)?
Jawabnya tergantung situasi dan kondisi. Sebab di zaman edan ini ternyata ada beberapa orang jahat yang memanfaatkan situasi semacam ini. Tahu bahwa agama memerintahkan pemeluknya agar memberi harta kepada orang yang meminta, lalu dikoordinir lah beberapa orang yang berakting meminta-minta di jalanan.
وَفِي الرِّقَابِ
Riqab (رقاب) dalam bahasa arab sering diterjemahkan menjadi budak, maknanya secara bahasa adalah :
المـمْلُوكُ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى
Orang yang dimiliki, baik laki-laki atau pun perempuan.
Dan secara istilah, ternyata para ulama fiqih mendefinisikan riqab ini tidak jauh-jauh dari maknanya secara bahasa, yaitu :
كَوْنُ الإْنْسَانِ مَمْلُوكًا لإِنْسَانٍ آخَرَ
Keadaan manusia yang menjadi hak milik dari manusia yang lain.
Dan sebagian ulama mendefinisikan riqab ini dari sudut pandang pengurangan beban taklif, menjadi :
Meski secara fisik berbentuk manusia, namun secara nilai, status dan kedudukan, seorang budak setara dengan hewan. Boleh dibilang, budak adalah hewan yang berwujud manusia. Atau bisa juga sebaliknya, budak adalah manusia dengan kedudukan setingkat hewan.
Di masa sekarang ini kita mungkin agak sulit membayangkan realitas ini, tetapi umat manusia sepanjang puluhan abad telah hidup di tengah perbudakan manusia atas manusia. Para budak itu tidak dianggap sebagai manusia yang utuh, tetapi dianggap hanya separuh manusia. Selebihnya, manusia hanya seharga hewan peliharaan.
Ketika seorang tuan memiliki budak, maka kepemilikannya atas budak itu setara dengan kepemilikan atas nilai suatu harta, atau hewan ternak dan hewan peliharaan.
Dengan kata lain, memiliki budak berarti memiliki investasi, karena budak termasuk harta yang produktif, yang bisa menghasilkan pemasukan, baik berupa uang atau sejenisnya. Bahkan budak juga bisa dipelihara untuk dikembang-biakkan.
Orang kaya biasanya punya banyak budak dari berbagai jenis dan level. Berapa jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang di masa itu, adalah salah satu ukuran status sosial, dan juga ukuran tingkat kekayaan yang dimiliki.
Karena nilai budak tidak lebih dari sekedar aset, maka budak bisa diperjual-belikan dengan harga yang ditawarkan dan disepakati. Di semua kota dan peradaban di masa lalu, selalu ada pasar budak, dimana budak-budak didatangkan dari jauh untuk dipamerkan dan ditawarkan kepada penawar tertinggi. Tidak terkecuali di Kota Mekkah Al-Mukarramah di masa itu, juga ada hari-hari dimana orang datang ke pasar untuk menjual atau membeli budak. Juga ada para broker yang selalu siap mensuplai budak-budak yang dibutuhkan.
Biasanya semakin kuat dan kekar seorang budak, harga jualnya akan semakin tinggi. Dan budak perempuan terkadang punya nilai harga tertentu, baik dari segi kecantikannya, atau juga dipengaruhi dari jenis dan ras budak itu. Persis kalau kita datang ke toko hewan peliharaan, harga hewan-hewan itu bervariasi tergantung dari banyak faktor.
Budak adalah aset yang dimiliki, meski berwujud manusia, tetapi kedudukannya seperti hewan, sehingga tidak punya hak kepemilikan atas harta.
Budak dipekerjakan oleh tuannya, hasilnya 100% milik tuannya. Persis seperti pemilik delman yang memelihara kuda untuk mengangkut penumpang, uang pembayarannya sepenuhnya menjadi pemilik delman. Kuda itu sendiri tidak punya hak serupiah pun atas tenaganya.
Demikian juga peternak sapi, semua yang dikerjakan sapi termasuk susunya, 100% menjadi hak milik peternak, dan bukan hak milik sapi. Sapi cukup diberi makan, minum dan perawatan.
Yang berlaku di semua peradaban manusia saat itu bahwa budak wanita yang dimiliki boleh disetubuhi oleh tuan pemiliknya, tanpa lewat proses pernikahan sebelumnya. Dan hal itu juga berlaku di dalam syariat Islam. Di dalam Al-Quran Al-Kariem disebutkan hal tersebut :
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (QS. Al-Mu’minun : 5-6)
وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
Lafazh aqamash-shalah (أَقَامَ الصَّلَاةَ) menunjukkan bahwa kebaikan itu tidak mungkin juga dipisahkan dengan peribadatan ritual kepada Allah SWT. Dan induk dari ibadah ritual tidak lain adalah shalat.
Di dalam shalat ada banyak simbol ibadah-ibadah lain yang ikut terwakili. Misalnya membaca Al-Quran yang merupakan ibadah tersendiri ternyata terdapat dalam shalat. Setidaknya baca surat Al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat.
Berdzikir dan berdoa adalah ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT secara terpisah. Namun dzikir dan doa juga terdapat di dalam shalat. Bersuci atau mandi pun ada dalam shalat, malah menjadi syarat sebelum shalat dikerjakan. Pergi haji ke Baitullah itu ada simbolnya di dalam shalat, yaitu shalat harus menghadap kiblat. Tanpa menghadap kiblat maka shalat kita menjadi tidak sah.
Satu lagi hal yang perlu diketahui bahwa semua agama samawi yang pernah Allah SWT turunkan ke muka bumi dan dibawa oleh para nabi, tidak ada satupun yang tidak mengenal ritual ibadah shalat.
Dan sebagaimana umumnya, lafazh shalat di dalam Al-Quran seringkali tampil bersama dengan zakat. Lafazh wa aataz-zakata (وَآتَى الزَّكَاةَ) artinya : dan “mengeluarkan zakat”.
Memang kemunculan kata zakat disini menimbulkan sedikit kebingungan atau setidaknya kerancuan. Sebabnya karean sebelumnya sudah digambarkan panjang lebar tentang mengeluarkan harta, lalu kenapa masih ada zakat lagi? Benarkah kata zakat lebih merupakan penguatan saja?
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang sudah disebutkan di atas semuanya bukan zakat dengan berdasarkan hadits berikut :
هل على الرجل حَق في ماله سوى الزكاة؟ قال: نعم! وتلا هذه الآية
Apakah ada kewajiban atas harta di luar zakat? Nabi SAW menjawab,”Ya”. Lalu beliau membacakan ayat ini.
Namun tetap saja jawaban ini masih menyisakan pertanyaan, karena beberapa dari mereka yang diberi harta itu ada yang bertumpang tindih dengan para penerima zakat. Memang kalau dzawil qurba, anak yatim, peminta-minta tidak masuk dalam jajaran 8 asnaf. Namun orang miskin, ibnu sabil, dan budak masuk di dalam jajaran itu.
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا
Setelah selesai menyebutkan shalat dan zakat, tibalah kita pada point yang sangat utama dalam standar orang beragama, yaitu menjadi orang-orang yang menunaikan janjinya apabila dia berjanji.
Ini adalah salah satu standar moral dasar yang menjadi jiwa bagi seorang yang beragama dengan benar. Tidak mudah mangkir dan ingkar janji. Semua omongannya selalu dipegang, tidak pernah berliku-liku dan bersilat lidah.
Manusia itu yang dipegang adalah janjinya. Percuma mengaku beragama kalau rajin mangkir dari janji yang sudah diucapkan. Dan contoh yang paling spektatuler adalah Nabi SAW sangat mentaati apa yang telah disepakatinya dalam Perjanjian Hudaibiyah. Janji adalah janji yang harus secara konsekuan dan konsisten dijalankan, apapun yang terjadi. Itulah ciri orang yang beriman, yaitu mereka yang menunaikan janjinya sebagaimana diungkap dalam ayat lain :
Lafazh ash-shabirin (الصابرين) secara bahasa berarti orang yang sabar. Dan sabar itu sendiri bermakna menahan, atau lengkapnya adalah sebagaimana didefinisikan oleh Al-Mawardi dalam An-Nukat wa Al-Uyun adalah :
حَبْسُ النَّفْسِ عَمّا تُنازَعُ إلَيْهِ
Menahan diri atas apa yang apa yang diperselisihkan.[1]
Ibnu Katsir mengutipkan atsar dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu bahwa ada dua kesabaran, yaitu adalah sabar atas musibah dan sabar dalam ketaatan.
Sabar itu ada dua macam. Pertama, sabar ketika mendapat musibah dan itu baik. Kedua, sabar dari mengerjakan perbuatan diharamkan Allah dan itu lebih baik.[2]
Sedangkan Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya Ad-Dur Al-Mantsur fi At-Tafsir bil Ma’tsur mengutipkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan bahwa Nabi SAW membagi sabar itu menjadi tiga macam jenis kesabaran.
Sabar itu tidak macam, yaitu sabar dari musibah, sabar atas taat dan sabar dari mengerjakan maksiat.[3]
Al-Baihaqi menuliskan dalam Syu’abul Iman sebuah riwayat Nabi SAW yang bersabda :
واعْلَمْ أنّ الصَّبْر على ما تَكْرَه خيرٌ كثيرٌ، وأنَّ النَّصْر مَع الصَّبْر، وأنّ الفَرَج مع الكَرْب، وأنّ مع العُسر يسرّا
Dan ketahuilah bahwa kesabaran terhadap apa yang kamu benci adalah kebaikan yang banyak, dan bahwa kemenangan datang dengan kesabaran, dan bahwa kemudahan datang setelah kesulitan, dan bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan.(HR. Al-Baihaqi). [4]
Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menuliskan bahwa sabar di dalam ayat ini adalah sebuah ungkapan yang punya makna di luar makna aslinya tetapi makna metafora, yaitu yang dimaksud dengan sabar disini artinya adalah ibadah puasa.[5]
Makna al-ba’sa’ (الْبَأْسَاءِ) artinya keadaan yang sempit dan kemiskinan. Lafazh adh-dharra’ (وَالضَّرَّاءِ) artinya sakit. Sedangkan hinal-ba’s (وَحِينَ الْبَأْسِ) artinya dalam keadaan perang.
Lafazh alladzhina shadaqu (الَّذِينَ صَدَقُوا) bermakna : mereka yang berlaku shidiq atau jujur. Ini adalah standar moral dasar dari sifat orang-orang yang beragama, yaitu tidak bohong dan dusta, tetapi jujur apa adanya.
Di dalam hadits disebutkan hubungan yang erat antara orang yang jujur dengan orang yang melakukan kebaikan atau al-birr (البِرّ) :
Kalian harus berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan. Dan kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.'
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Ayat yang cukup panjang ini kemudian ditutup dengan ungkapan : “mereka itulah dan hanya mereka itu saja yang disebut sebagai orang-orang yang bertaqwa”.
Ternyata ayat ini menyimpan pemahaman terkait kriteria lain dari orang-orang yang bertaqwa, yaitu semua hal yang telah disebutkan di dalam ayat ini pada dasarnya terkait dengan al-birr atau kebaikan. Dan antara kebaikan dan ketaqwaan itu rupanya punya benang merah yang amat tegas, sebagaimana firman Allah SWT di ayat ke-189.
وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ
tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 189)