◀ | Jilid : 7 Juz : 4 | Ali Imran : 93 | ▶ |
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Kemenag RI 2019 : Semua makanan halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya‘qub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan.[105]) Katakanlah (Nabi Muhammad), “Bawalah Taurat lalu bacalah, jika kamu orang-orang yang benar.”TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
Ayat ke-93 ini rasanya seperti tiba-tiba kita diajak meloncat begitu saja di tengah perdebatan antara Nabi Muhammad SAW dengan kalangan Yahudi. Memang demikianlah ciri-ciri Al-Quran, bagi kita yang hanya sekedar membaca Al-Quran secara tekstual, tanpa dibekali penjelasan dari para saksi yang hadir ketika suatu ayat diturunkan, rasanya isi Al-Quran seperti melompat-lompat tidak karuan.
Padahal yang sesungguhnya terjadi tidak demikian, ada kisah dan menjadi latar belakang mengapa suatu ayat diturunkan. Kajian ini sering disebut dengan asbabun-nuzul atau pun juga siyaq dan munasabah.
Latar belakang ayat ini turun diawali dari klaim sepihak kalangan Yahudi di Madinah yang mencibir kaum muslimin suka memakan makanan yang Allah SWT haramkan. Tuduhan ini memang sedikit banyak ada benarnya, namun bukan berarti benar semua.
Kalau melihat misalnya bagaimana Al-Quran belum lagi mengharamkan khamar hingga Nabi SAW dan para shahabat hijrah ke Madinah, kita memang bisa membayangkan bagaimana hinaan dan makian kalangan Yahudi kepada para shahabat. Sebab orang-orang Yahudi memang tidak minum khamar dalam syariat mereka. Sementara para shahabat hijrah ke Madinah masih meminumnya. Karuan saja para shahabat sampai harus menegaskan ulang tentang apakah khamar masih halal atau sudah diharamkan. Sayangnya waktu itu, belum ada kepastian hukum atas haramnya khamar, setidaknya sampai usai perang Uhud di tahun ketiga hijriyah, yaitu dengan turunnya ayat 90-91 dari surat Al-Maidah yang mengharamkan khamar secara total.
Kali ini orang-orang Yahudi berulah lagi, mereka katakan bahwa agama yang dianut oleh kaum muslimin itu keliru dan salah, sebab masih membolehkan makan daging unta dan juga minum susunya. Padahal menurut mereka, Allah SWT telah mengharamkan makan daging unta di dalam Taurat.
Namun Allah SWT tidak lantas mengharamkan daging unta dan susunya, sebab memang aslinya Allah SWT tidak pernah mengharamkan daging unta sebagaimana yang mereka tuduhkan. Maka ayat ini menjadi sangat relevan untuk menjawab tuduhan bahwa unta haram dimakan, dengan menyatakan bahwa dahulu sebelum masa Nabi Ya’qub atau Isral, para leluhur oang-orang Yahudi, yaitu Nabi Ibarahim, Ismail, Ishak dan lainnya memakan daging unta serta meminum susunya.
Sampai terjadi suatu kasus, dimana cucu Nabi Ibrahim dari jalur Nabi Ishak, yaitu Nabi Ya’qub yang juga bernama Israil, pernah mengidap penyakit yang parah dan tidak sembuh-sembuh. Sehingga bernadzarlah Nabi Ya’qub bahwa kalau Allah SWT sembuhkan penyakit, Beliau akan meninggalkan makan daging unta dan tidak akan lagi meminum susunya. Dan ternyata nadzar itu dikabulkan Allah SWT, sehingga akhirnya Nabi Ya’qub tidak lagi makan daging unta dan tidak lagi minum susunya.
Begitulah sejarah latar belakang kenapa anak-anak Nabi Ya’qub pun akhirnya tidak mau makan daging unta serta tidak minum susunya. Rupanya seiring berjalannya waktu, meninggalkan makan daging unta dan susunya terlanjur dianggap menjadi syariat yang baku, bahkan dengan seenaknya ada yang menyisipak ke dalam kitab Taurat larangan untuk makan daging unta.
Lucunya, orang-orang Yahudi yang hidup 2000-an tahun kemudian terlanjur meyakini bahwa daging unta itu haram, begitu juga susunya. Padahal Allah SWT tidak pernah mengharamkannya.
Makna kullu (كُلُّ) adalah semua, sedangkan makna tha’am (الطَّعَامِ) secara umum adalah makanan, namun bisa jadi yang dimaksud adalah makanan yang bersumber dari hewani. Hal itu mengingat bahwa sumber makanan yang bersifat nabati nyaris tidak ada yang hukumnya haram, kecuali khamar.
Itupun asalnya halal, karena khamar itu hasil dari sebuah pengolahan. Bahan baku khamar di masa kenabian adalah buah kurma dan anggur. Tidaklah menjadi haram kecuali setelah melalui proses fermentasi.
Maka yang menjadi objek pembahasan makanan haram pada umumnya adalah makanan yang bersumber dari hewani, mengingat ada beberapa jenis hewan yang haram dimakan. Juga ada beberapa bagian dari tubuh hewan yang diharamkan untuk dimakan, meksipun secara umum hewan itu halal dimakan.
Di dalam surat Al-Maidah ayat 5, Allah SWT menyebutkan kata tha’am dengan maksud hewan sembelihan.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu (sembelihan) halal juga bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)
Lafazh kaana hillan (كَانَ حِلًّا) artinya : di masa lalu hukumnya halal. Lafazh li-bani-israil (لِبَنِي إِسْرَائِيلَ) artinya : untuk Bani Israil.
Bani Israil itu kalau mau diurut-urutkan sejarahnya, akan bermula dari 12 anak Nabi Ya’qub, yaitu Yahudza, Rubail, Syam'un, Lawi, Bazalun, Yasyjar, Daan, Naftali, Jaad, Asyir, Nabi Yusuf dan Bunyamin alaihimassalam.
Dikatakan mereka itu adalah Bani Israil karena secara bahasa maknanya adalah : anak-anak Israil. Dan Israil sendiri adalah nama lain dari Ya’qub alaihissalam, cucu dari Nabi Ibrahim, anak dari Nabi Ishaq.
Jati diri dan eksistensi keberadaan mereka sebagai anak keturunan dari Nabi Ya’qub rupanya terjaga secara turun temurun, hingga berabad-abad kemudian, sampai datang era Nabi Musa alaihissalam pada abad ke-13 sebelum masehi, ternyata masih disebutkan dua belas kabilah.
وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا
Kami membagi mereka (Bani Israil) menjadi dua belas suku yang tiap-tiap mereka berjumlah besar. (QS. Al-Araf : 160)
Dan keberadaan mereka masih tetap eksis hingga kedatangan Nabi Isa alaihissalam bahkan juga masa kenabian Muhammad SAW. Boleh dibilang tidak ada suatu kaum yang Allah SWT abadikan keberadaannya menembus zaman yang panjang berabad-abad lamanya, kecuali Bani Israil.
Padahal di dalam Al-Quran bertebaran kisah umat terdahulu yang Allah SWT hancurkan dan tidak ada lagi bekas-bekas peninggalannya. Sementara kisah Bani Israil selalu ada di hampir semua timeline sejarah Al-Quran. Bahkan hingga hari kiamat, mereka tetap akan ada dan eksis.
Lafazh illa (إِلَّا) artinya : kecuali, lafazh maa harrama israilu (مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ) artinya : apa yang Israil haramkan.
Di dalam Al-Quran, kita temukan berkali-kali kata Bani Israil terulang, tidak kurang dari 40 kali. Bahkan Bani Israil juga menjadi nama lain dari surat dalam Al-Quran, yaitu surat ke-17 yang namanya Al-Isra’.
Namun semua penyebutannya adalah : “Bani Israil” yang artinya : anak-anak Israil. Sedangkan bila kata Israil saja tanpa kata Bani, maka hanya ada dua saja dalam Al-Quran, yaitu di ayat ini dan satu lagi di surat Maryam.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا
Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. (QS. Maryam : 58)
Lantas apa bedanya?
Bedanya jelas sekali, bahwa Bani Israil itu mengacu kepada suatu kaum, sedangkan Israil itu adalah nama lain dari Nabi Ya’qub, cucu dari Nabi Ibrahim dan anak dari Nabi Ishaq.
Dan makna ‘alaa nafsihi (عَلَىٰ نَفْسِهِ) adalah : kepada dirinya sendiri.
Maksudnya keharaman makanan di kalangan Bani Israil itu awalnya hanya terbatas sekali jumlahnya. Namun setelah itu jumlah yang diharamkan menjadi lebih banyak, yaitu semenjak Nabi Ya’qub mengharamkan beberapa makanan yang awalnya tidak Allah SWT haramkan.
Lantas yang menjadi pertanyaan, kenapa seorang Nabi Ya’qub sampai merasa berhak mengharamkan makanan yang Allah SWT sendiri tidak mengharamkannya? Bukankah Dia adalah seorang nabi utusan Allah? Bagaimana mungkin seorang utusan Allah sampai bisa mengeluarkan fatwa keharaman makanan, yang mana fatwa itu datangnya dari dirinya sendiri?
Jawabannya bahwa pada dasarnya Nabi Ya’qub tidak mengharamkan makanan itu buat Bani Israil, namun Beliau mengharamkan untuk dirinya sendiri, dengan satu alasan yang dijelaskan dalam hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْيَهُودَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ ﷺ: أخبرنا، ما حرم إسرائيل عل نَفْسِهِ؟ قَالَ: (كَانَ يَسْكُنُ الْبَدْوَ فَاشْتَكَى عِرْقَ النَّسَا فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا يُلَائِمُهُ إِلَّا لُحُومَ الْإِبِلِ وَأَلْبَانَهَا فَلِذَلِكَ حَرَّمَهَا). قَالُوا: صَدَقْتَ. وَذَكَرَ الْحَدِيثَ. وَيُقَالُ: [إِنَّهُ]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi SAW,”Jelaskan kepada kami, makanan apa yang Nabi Israil haramkan untuk diri Beliau sendiri?”. Nabi SAW menjawab,” "(Dahulu) mereka tinggal di padang pasir dan mengeluhkan kesulitan mendapatkan makanan. Satu-satunya makanan yang cocok untuk mereka adalah daging unta dan susunya, itulah sebabnya mereka mengharamkannya." Mereka berkata, "Kamu telah mengatakan yang benar," dan mereka menyebutkan hadis tersebut. Dan dikatakan, "[Sungguh, itulah yang benar]."
Dalam riwayat yang lain, ada juga disebutkan versi yang sedikit berbeda, yaitu :
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٌ وَقَتَادَةُ وَالسُّدِّيُّ: أَقْبَلَ يَعْقُوبُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مِنْ حَرَّانَ يُرِيدُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ حِينَ هَرَبَ مِنْ أَخِيهِ عِيصُو، وَكَانَ رَجُلًا بَطِشًا قَوِيًّا، فَلَقِيَهُ مَلَكٌ فَظَنَّ يَعْقُوبُ أَنَّهُ لِصٌّ فَعَالَجَهُ أَنْ يَصْرَعَهُ، فَغَمَزَ الْمَلَكُ فَخِذَ يَعْقُوبَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، ثُمَّ صَعِدَ الْمَلَكُ إِلَى السَّمَاءِ وَيَعْقُوبُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَهَاجَ عَلَيْهِ عِرْقُ النسا، ولقي من ذَلِكَ بَلَاءً شَدِيدًا، فَكَانَ لَا يَنَامُ اللَّيْلَ مِنَ الْوَجَعِ وَيَبِيتُ وَلَهُ زُقَاءٌ أَيْ صِيَاحٌ، فَحَلَفَ يَعْقُوبُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِنْ شَفَاهُ اللَّهُ عز وجل أَلَّا يَأْكُلَ عِرْقًا، وَلَا يَأْكُلَ طَعَامًا فِيهِ عِرْقٌ فَحَرَّمَهَا عَلَى نَفْسِهِ، فَجَعَلَ بَنُوهُ يَتَّبِعُونَ بَعْدَ ذَلِكَ الْعُرُوقَ فَيُخْرِجُونَهَا مِنَ اللَّحْمِ. وَكَانَ سَبَبُ غَمْزِ الْمَلَكِ لِيَعْقُوبَأَنَّهُ كَانَ نَذَرَ إِنْ وَهَبَ اللَّهُ لَهُ اثْنَيْ عَشَرَ وَلَدًا وَأَتَى بَيْتَ الْمَقْدِسِ صَحِيحًا أَنْ يَذْبَحَ آخِرَهُمْ . فَكَانَ ذَلِكَ لِلْمَخْرَجِ مِنْ نَذْرِهِ،
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, dan As-Suddi berkata: Yakub – atasnya sejahtera – menghadap ke Baitul Maqdis ketika ia lari dari saudaranya Ishaq, yang merupakan pria kuat dan kasar, ketika hendak bertemu dengannya, ia dihadang oleh seorang malaikat. Yakub, dalam pikirannya, mengira bahwa malaikat itu adalah seorang perampok, jadi dia memutuskan untuk melawannya. Namun, malaikat tersebut menunjukkan kekuatannya dengan memegang pahanya, yang menyebabkan Yakub menderita sakit yang sangat parah, sehingga dia tidak bisa tidur karena rasa sakit, dan dia menderita jeritan. Yakub bersumpah bahwa jika Allah menyembuhkannya, dia tidak akan memakan makanan yang memiliki urat dan akan melarangnya bagi dirinya sendiri. Kemudian, dia memerintahkan anak-anaknya untuk membuang urat dari daging. Penyebab malaikat memegang paha Yakub adalah karena dia berjanji untuk menyembelih salah satu anaknya yang terakhir jika Allah memberinya dua belas anak dan membawanya ke Baitul Maqdis dengan selamat. Ini adalah cara keluar dari nadzar.
Lafazh min qabli (مِنْ قَبْلِ) artinya : dari sebelum, sedangkan makna an tunazzala (أَنْ تُنَزَّلَ) artinya : diturunkannya Taurat.
Maksudnya kejadian dimana Nabi Ya’qub melarang untuk dirinya sendiri memakan makanan tertentu itu di masa sebelum turunnya kitab Taurat. Kalau dihitung jarak waktunya, Taurat itu turun di masa Nabi Musa yang banyak disebut-sebut pada sekitaran tahun 1.300-an sebelum Masehi. Sedangkan masa kehidpan Nabi Ya’qub itu di sekitaran tahun 1.800-an sebelum Masehi. JAraknya kurang lebih 500-an tahun.
Lafazh qul () artinya : katakanlah. Ini adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, agar berkata kepada orang-orang Yahudi di masa kenabiannya.
Lafazh fa’tu bit-taurati (فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ) artinya : datangkanlah Taurat, maksudnya carilah ayat-ayat di dalam Taurat yang sekiranya mencantumkan apa-apa yang orang-orang Yahudi haramkan atas diri mereka sendiri. Dan tentunya tidak ada ayat yang mengharamkannya.
Lafazh fatluha (فَاتْلُوهَا) artinya : bacakanlah. Maksudnya bacakan sebuah ayat di dalam Taurat yang bicara tentang keharaman makanan tersebut. Lafazh in-kuntum-shadiqin (إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ) artinya : apabila kamu merupakan orang-orang yang benar.
Sampai disini kita tahu bahwa di dalam kitab Taurat yang turun di masa kenabian Musa alaihisalam, awalnya Allah SWT belum mengharamkan banyak hal kepada Bani Israil. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tiba-tiba Allah turunkan wahyu kepada masing-masing nabi yang ada untuk diharamkannya makanan tertentu. Penjelasan ini menjadi terang ketika dijelaskan di dalam Al-Quran berikut ini :
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami mengharamkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang (dahulu) pernah dihalalkan bagi mereka; juga karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. (QS. An-Nsa’ :160)
Berbagai keharaman yang Allah SWT kemudian berlakukan kepada Bani Israil ternyata merupakan bentuk hukuman atas dosa-dosa mereka yang mereka lakukan sendiri. Dan menjadi wajar dan masuk akal kalau keharaman makanan itu tidak ada di dalam kitab Taurat. Karena awalnya memang tidak haram.
Di dalam Al-Quran juga ada disebutkan salah satu contoh bagaimana Allah SWT akhirnya mengharamkan jenis makanan tertentu :
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Atas orang-orang Yahudi Kami mengharamkan semua (hewan) yang berkuku. Kami mengharamkan pula atas mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, yang ada dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Sesungguhnya Kami Maha Benar. (QS. Al-Anam : 146)
Fiqih Nadzar
Tentang hukum nadzar sendiri dalam syariat Nabi Muhammad SAW memang masih ada, hanya saja ada beberapa hal yang berbeda dari nadzar yang berlaku pada umat terdahulu.
1. Pengertian Nadzar
Nadzar itu mewajibkan atas diri sendiri untuk melakukan sesuatu ritual peribadatan untuk Allah yang asal hukumnya tidak wajib.[1]
Sebagai contoh adalah bernazar untuk puasa Senin Kamis selama setahun. Hukum asal puasa Senin Kamis itu sunnah, namun dengan bernazar untuk melakukannya selama setahun, maka hukumnya buat yang bernazar berubah menjadi wajib. Dasar hukum nazar adalah firman Allah SWT berikut ini:
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
Dan hendaklah mereka melaksanakan nazarnya. (QS Al-Hajj: 29)
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
Mereka menunaikan nazarnya dan takut atas hari yang azabnya merata di mana-mana. (QS Al-Insan: 7)
Bila sebuah nadzar telah terlanjur ditetapkan maka wajib ditunaikan, selama hukumnya mubah.
2. Hukum Bernazdar
Namun para ulama tidak sepakat ketika seseorang bernadzar, apakah merupakan bagian dari ibadah pendekatan kepada Allah atau bukan. Maka dalam menetapkan hukum bernadzar, kebanyakan ulama justru memakruhkan, meski ada sebagian yang membolehkan.
Yang mengatakan makruh adalah jumhur ulamam yaitu para ulama di kalangan Mazhab Maliki, Mazhab Asy-Syafi’i dan Mazhab Hambali. Ar-Ramli yang mewakili mazhab Asy-Syafi’i menegaskan dalam fatwanya :
الأَصَحُّ اخْتِصَاصُ الْكَرَاهَةِ بِنَذْرِ اللَّجَاجِ لأَنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيل
Yang shahih bahwa mengkhususnya nadzar Lajaj itu makruh, karena tidak memberi kebaikan, hanya dikerjakan oleh mereka yang pelit kepada Allah.
Hal yang sama difatwakan oleh Al-Buhuti yang mewakili ulama mazhab Hambali :
النَّذْرُ بِالْمَعْنَى الْمَصْدَرِيِّ مَكْرُوهٌ وَلَوْ عِبَادَةً
Nadzar dengan makna mashdari itu hukumnya makruh, walaupun dalam konteks ibadah.
Dasar yang digunakan oleh para pendukung pendapat makruhnya nadzar adalah hadis berikut :
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ النَّذْرِ، وَقَال: إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيل
Nabi SAW melarang orang bernadzar dan Beliau katakan,”Nadzar itu tidak menangkal apapun. Hanya dilakukan oleh orang-orang yang kikir.
Dan dalam prakteknya, Nabi Muhammad SAW serta para shahabat nyaris tidak pernah melakukan nadzar. Kalau pun kita membaca kisah Nabi Ya’qub alaihissalam melakukan nadzar atas kesembuhan penyakitnya, maka itu terhitung sebagai syariat yang berlaku pada umat terdahulu.
Sedangkan yang mengatakan bahwa nadzar itu hukumnya sunnah adalah mazhab Hanafi.
3. Bernadzar Dengan Yang Bukan Ibadah
Dalam kasus nadzar Nabi Ya’qub alaihissalam, ada hal yang cukup menggelitik, yaitu Beliau bernadzar untuk tidak memakan daging unta dan tidak minum susunya.
Dalam konteks fiqih Islam, hukum memakan daging unta dan minum susunya tidak makruh dan juga tidak haram, hukumnya mubah saja. Lantas apakah dibenarkan kita bernadzar meninggalkan hal yang mubah?
Disinilah titik masalahnya, padahal daging unta dan susunya itu sesungguhnya bagian dari kegemaran seorang Nabi Ya’qub. Namun Beliau meninggalkan makanan kesukaannya itu dengan niat sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang jadi pertanyaan adalah : apakah hukum yang berlaku pada diri Nabi Ya’qub juga berlaku pada kita sekarang?
Apakah misalnya kita yang suka makan nasi dibenarkan bernadzar untuk tidak makan nasi, dengan alasan bahwa meninggalkan apa yang halal itu sebagai bentuk ibadah ritual kepada Allah? Bukankah jatuhnya malah jadi sebaliknya, yaitu seperti mengharamkan apa-apa yang Allah tidak haramkan?
Lain halnya bila ada masalah yang hukumnya tidak jelas, antara halal dengan haram, lalu kita meninggalkan yang ragu-ragu. Itu jelas bernilai ibadah. Sebutlah misalnya seseorang mengetahui bahwa hukum rokok itu makruh menurut para ulama klasik. Maka seandainya seseorang bernadzar untuk tidak merokok, itu sudah sesuai dengan ketentuan. Selain dimakruhkan, menurut para ahli kesehatan modern, rokok itu punya risiko dari segi kesehatan.
Tetapi bernadzar untuk tidak makan nasi, padahal nasi itu halal-halal saja, maka nadzar semacam itu berpotensi masalah. Mungkin ada orang yang ingin kurus lalu dia hindari makan nasi, tentu sah-sah saja. Namun tidak bisa dimasukkan ke dalam bab ibadah nadzar.
Sementara kita juga temukan beberapa hadits yang melarang orang menyakiti diri sendiri demi untuk mendapatkan pahala lebih di sisi Allah.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika Nabi SAW sedang berkhutbah, ada orang yang tidak mau duduk dan tetap berdiri terus. Maka ditanyakan siapa dia. Dijawab bahwa dia bernama Abu Israil dan ternyata dia bernadzar untuk berdiri terus menerus tidak duduk, tidak berteduh dan tidak bicara. Maka Nabi SAW bersabda :
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِل وَلْيَقْعُدْ، وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
Perintahkan dia untuk berbicara, berteduh dan duduk, lalu teruskan puasanya.
Disisi lain ada juga seorang wanita yang bernadzar jalan kaki ke Baitullah tanpa alas.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَال: نَذَرَتْ أُخْتِي أَنْ تَمْشِيَ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ حَافِيَةً، فَأَمَرَتْنِي أَنْ أَسْتَفْتِيَ لَهَا رَسُول اللَّهِ ﷺ فَاسْتَفْتَيْتُهُ فَقَال: لِتَمْشِ وَلْتَرْكَبْ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir,”Saudariku bernadzar jalan kaki dengan tanpa alas ke Baitullah”. Lalu dia minta Aku mintakan fatwa kepada Rasulullah SAW. Maka Aku mintakan fatwa. Nabi SAW berfatwa,”Berjalanlah tapi naiklah kendaraan”.
Amr bin Al-‘Ash meriyawatkan hadis berikut :
لاَ نَذْرَ إِلاَّ فِيمَا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
Tidak sah nadzar kecuali dalam bentuk ritual ibadah mendapatkan keridhaan Allah.
[1] Kasysyaf Al-Qanna‘ an Matni Iqna‘ 6: 273