Kemenag RI 2019 : Apabila engkau (Nabi Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu dan dalam keadaan takut diserang), lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dengan menyandang senjatanya. Apabila mereka (yang salat bersamamu) telah sujud (menyempurnakan satu rakaat), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). Lalu, hendaklah datang golongan lain yang belum salat agar mereka salat bersamamu[162]) dan hendaklah mereka bersiap siaga dengan menyandang senjatanya. Orang-orang yang kufur ingin agar kamu lengah terhadap senjata dan harta bendamu, lalu mereka menyerbumu secara tiba-tiba. Tidak ada dosa bagimu meletakkan senjata jika kamu mendapat suatu kesusahan, baik karena hujan maupun karena sakit dan bersiap siagalah kamu.[163]) Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir. Prof. Quraish Shihab : Dan apabila engkau (Nabi Muhammad SAW) berada di tengah-tengah mereka (kaum Muslim), lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka sujud, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh dan berjaga-jaga) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir ingin jika seandainya kamu lengah terhadap senjata kamu dan harta benda kamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kamu meletakkan senjata-senjata kamu jika kamu mendapat sesuatu kesusahan seperti karena hujan atau karena kamu sakit; dan siap-siagalah. Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang-orang kafir azab yang sangat menghinakan. Prof. HAMKA : Dan jika engkau di antara mereka, lalu engkau mendirikan shalat, mengimami mereka, maka hendaklah berdiri segolongan dari mereka bersama engkau, dan hendaklah mereka memegang senjata-senjata mereka. Maka apabila mereka telah sujud, hendaklah mereka berada di belakang kamu, dan hendaklah datang pula segolongan yang lain yang belum shalat, maka hendaklah mereka shalat bersama engkau, dan hendaklah mereka mengambil penjagaan mereka dan memegang senjata-senjata mereka. Ingin sekali orang-orang yang kafir itu kalau kamu lengah dari senjata-senjata kamu dan perlengkapan-perlengkapan kamu, lalu mereka bisa menyerang kamu dengan sekali serang. Tetapi tidaklah mengapa atas kamu, jika ada halangan bagi kamu dari sebab hujan, atau kamu dalam keadaan sakit, bahwa kamu lepaskan senjata kamu. Dan perteguhlah penjagaan kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan untuk orang yang kafir, siksaan yang menghina.
Ayat ke-102 ini sangat erat kaitannya dengan ayat sebelumnya yang bicara tentang shalat dalam keadaan berjihad. Bedanya kalau di ayat sebelumnya Allah SWT memberi keringanan untuk mengqashar shalat, maka di ayat ini Allah SWT memberi keringanan dalam teknis shalat berjamaah dan sekaligus juga dalam format qashar juga.
Maka kedua ayat ini memberi pesan penting bahwa kewajiban shalat lima waktu itu tidak gugur walaupun dalam perjalanan jihad dan perangan melawan musuh. Meskip tetap ada beberapa keringanan baik dalam jumlah rakaat ataupun dalam tehnik berjamaahnya.
Yang unik ternyata shalat Khauf di ayat ini justru diterangkan secara agak panjang lebar. Ayat ini secara teknis memenuhi setengah halaman mushaf, tidak kurang dari delapan baris panjangnya. Agak sulit untuk dibaca dalam satu tarikan nafas, saking panjangnya.
Yang unik dari ayat ini bahwa shalat fardhu lima waktu yang kita kerjakan setiap hari, justru tidak pernah dijelaskan sampai detail dalam Al-Quran. Sedangkan ayat ini penjelasannya sampai sepanjang ini dan sedetail ini.
Keunikan lainnya bahwa sebenarnya Nabi SAW melakukan shalat khauf bukan hanya sekali itu saja. Namun hadits-hadits yang sampai kepada kita justru menyebutkan ada banyak tata cara shalat khauf yang berbeda. Yang ada di ayat ini ternyata hanya salah satu dari sekian banyak tata cara.
Asbabun Nuzul
Terkait dengan sebab turunnya ayat ini, Al-Qurtubi menuliskan sebuah riwayat dari Abu Ayyasy Al-Zuraqi yang bercerita bahwa ketika dirinya ikut perang bersama Rasulullah SAW di Usfan, tiba-tiba datang orang-orang musyrik menghadang mereka yang dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid. Posisi lawan saat itu berada di antara pasukan muslimin dan Kiblat atau Mekkah. Nabi SAW pun mengimami shalat Zuhur. Maka orang-orang musyrik berkata, "Mereka dalam keadaan yang jika kita sergap, kita bisa menyerang mereka." Lalu mereka berkata lagi, "Sebentar lagi akan datang kepada mereka suatu shalat yang lebih mereka cintai daripada anak-anak dan diri mereka sendiri." Maka Jibril AS turun dengan membawa ayat ini di antara waktu Zuhur dan Ashar.
Shalat khauf Al-Qurtubi menuliskan bahwa ayat inilah yang menjadi sebab masuk Islamnya Khalid radhiyallahu 'anhu.
Kata wa idza kunta (وَإِذَا كُنْتَ) artinya : dan apabila Kamu, dalam hal ini yang dimaksud dengan kamu tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. Kata fii-him (فِيهِمْ) artinya : sedang berada di tengah-tengah mereka.
Maksudnya jika Nabi SAW sedang bersama dengan para shahahat dalam peperangan, lalu datang musuh yang siap menyerang mereka. Para ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib mengerjakan shalat bersama Nabi SAW. Dimana Beliau SAW yang menjadi imam shalat itu.
Kata fa-aqamta lahumush-shalata (فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ) artinya : lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka. Kata fa-aqamta (فَأَقَمْتَ) asalnya dari : kamu menegakkan. Kata la-hum (لَهُمُ) artinya : kepada mereka. Kata ash-shalat (الصَّلَاةَ) artinya : shalat, maksudnya shalat fardhu lima waktu.
Khitab ayat ini memang menyebut Nabi SAW dengan sapaan : Kamu. Sehingga sebagian kalangan menyebut bahwa shalat khauf dalam ayat ini hanya berlaku ketika yang jadi imam adalah Nabi SAW, adapun ketika imamnya bukan Nabi SAW, maka tidak ada shalat khauf. Sedangkan jumhur ulama memandang bahwa shalat khauf tetap bisa dilaksanakan, meski yang jadi imam bukan Nabi SAW.
1. Pendapat Shalat Khauf Hanya Berlaku Pada Nabi SAW
Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat khauf disyariatkan hanya buat Rasulullah SAW. Dasarnya adalah ayat di atas yang hanya menyebutkan buat Rasulullah SAW saja, bukan buat umatnya.[1]
Selain itu Al-Muzani, salah seorang murid Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri mengatakan bahwa shalat khauf memang pernah disyariatkan, namun setelah itu dihapus hukumnya, meski ayatnya masih ada.
Dasarnya, karena Nabi SAW di dalam perang Khandak sempat terlewatkan empat waktu shalat, yaitu Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Kalau shalat khauf berlaku, pastilah beliau melakukannya saat itu agar tidak terlewat shalat.[2]
Pendapat keduanya ini memang menyelisihi pendapat jumhur ulama. Namun logika dan alur pikiran yang mereka gunakan sebenarnya lumayan menarik untuk dipikirkan.
Shalat khauf ini seperti shalat jamaah dengan satu imam tapi jamaahnya bergantian antara shalat dan berjaga-jaga, namun shalatnya tetap dilakukan sekali saja dan bukan dua kali. Tujuannya agar semua pasukan tetap bisa shalat berjamaah dengan bermakmum kepada Nabi SAW. Dalam ukuran mereka saat itu, bermakmum kepada Nabi SAW termasuk hal prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, baik dari segi keutamaan atau pun juga dari segi kebiasaan.
Sedangkan ketika Nabi SAW sudah wafat dan konteks shalat berjamaahnya tidak diimami oleh Beliau SAW, maka model shalat khauf ini sudah tidak lagi disyariatkan lagi.
Mereka mengatakan,”Kami tidak lagi melaksanakan shalat khauf setelah wafatnya Nabi SAW. Karena seruan dalam ayat ini bersifat khusus hanya berlaku untuk Beliau, sebagaimana firman-Nya:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ
Dan apabila engkau berada di tengah-tengah mereka
Logika terbaliknya, jika Nabi SAW sudah tidak ada lagi bersama mereka, maka hukum tersebut pun sudah tidaklagi berlaku. Hal itu mengingat bahwa kedudukan dan kemuliaan seorang Nabi SAW tidaklah sama dengan siapapun orang lain. Ketika Nabi SAW sudah tidak ada, imam boleh shalat bersama satu shalat jamaah dan memerintahkan orang lain menjadi imam memimpin jamaah shalat lainnya. Dan tidak harus shalat dengan satu imam secara bersamaan.
Adapun pendapat mayoritas ulama, mereka mengatakan: "Kami telah diperintahkan untuk mengikuti dan meneladani beliau dalam banyak ayat dan hadits.
2. Pendapat Jumhur Ulama
Jumhur ulama ternyata tidak sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Yusuf dan para pendukungnya. Dalam pandangan jumhur ulama, shalat Khauf tetap berlaku meskipun yang jadi imam bukan lagi Nabi SAW.
Adapun hujjah serta logika yang digunakan juga cukup banyak, di antaranya bahwa semua perintah dan larangan dalam Al-Quran rata-rata yang jadi mukhatab atau yang diajak bicara memang hanya Nabi SAW. Namun begitu, bukan berarti perintah itu hanya berlaku buat diri Beliau seorang, tetapi otomatis juga berlaku kepada seluruh umatnya. Bukankah Nabi SAW juga bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Selain itu ketika memberikan keringanan mengqashar shalat di ayat sebelumnya, Allah SWT juga menyebut : ‘kamu’ kepada Nabi SAW. Tetapi hukum bolehnya mengqashar shalat itu tetap berlaku kepada semua orang, tidak hanya kepada Nabi Muhammad SAW saja.
Perintah untuk memungut zakat itu sebenarnya khitab yang ditujukan kepada Nabi SAW :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. (QS. At-Taubah : 103)
Namun kita semua sepakat bahwa kewajiban zakat tidak gugur karena Nabi SAW sudah wafat. Tugas untuk menarik harta zakat itupun kita sepakati berpindah kepada Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW.
Justru ketika ada suatu kaum yang menolak membayar zakat di masa Abu Bakar, dengan alasan bahwa bayar zakat itu hanya kepada Nabi SAW, mereka pun secara ijma’ dihukumi murtad, kafir, halal darahnya serta diperangi oleh umat Islam semuanya.
Maka semua perintah kepada Nabi SAW itu berlaku juga secara otomatis kepada umatnya, kecuali bila ada dalil yang mengkhususkan bahwa perintah itu hanya buat Nabi SAW saja. Misalnya ketika umatnya dibatasi hanya boleh beristri empat wanita sementara Nabi SAW dibolehkan lebih dari itu. Itu ada dalil yang secara khusus memberikan dispensasi kepada Nabi SAW.
Begitu juga tentang puasa wishal yang berlaku hanya kepada Nabi SAW dan tidak berlaku buat umatnya. Ada hadits tentang itu yang secara tegas menyebutkan adanya batasan yang membedakan antara Nabi SAW dan umatnya dalam perlakuan hukum.
Ali bin Abi Thalib masih melakukan shalat khauf dalam perang Shiffin. Demikian juga para kibarushshahabah tetap masih melakukan shalat khauf, seperti Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu Musa Al-Asy'ari, Said ibnul Ash dan sebagainya.
[1] Bulghatussalik ala Asy-Syarhi Ash-Shaghir jilid 1 hal. 185
Kata fal-taqum (فَلْتَقُمْ) artinya : maka berdirilah. Meski perintahnya berdirilah, namun maksudnya adalah berdiri untuk mengerjakan shalat. Sebab perintah mengerjakan shalat itu biasa menggunakan kata (قام – يقوم - قم) sebagaimana di dalam ayat berikut :
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (QS. Al-Muzzammil : 1-2),
Kata thaifatun minhum (طَائِفَةٌ مِنْهُمْ) artinya : segolongan atau sebagian dari mereka. Kata ma’aka (مَعَكَ) artinya bersamamu, maksudnya Nabi SAW menjadi imam bagi mereka, tetapi bukan untuk semua jamaah, melainkan hanya untuk sebagian dari mereka.
Secara teknis, yang dimaksud dengan sebagian atau segolongan adalah satu shaf shalat yang pertama atau paling depan. Sedangkan segolongan yang lain, maksudnya adalah shaf shalat yang kedua. Shaf kedua ini tidak ikut dalam shalat, dalam arti tidak ikut rukuk sujud bersama imam.
Kata wal-ya’khuzhu (وَلْيَأْخُذُوا) artinya : dan ambillah. Kata aslihata-hum (َسْلِحَتَهُمْ) artinya : senjata mereka. Maksudnya Allah SWT perintahkan mereka shalat tanpa meletakkan senjata, maka shalat yang mereka lakukan itu sambil menyandang senjata masing-masing.
Senjata yang biasanya digunakan orang untuk berperang di masa itu masih terbatas senjata tajam, seperti pedang, tombak, belati, dan panah. Di masa itu belum dikenal senjata api, granat, apalagi senapan otomatis, roket, RPG apalagi drone dan misil nuklir.
فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ
Kata fa-idza (فَإِذَا) artinya :maka apabila. Kata sajadu (سَجَدُوا) artinya :mereka bersujud, maksudnya mereka yang shalat bersamamu telah sujud, yaitu telah menyelesaikan satu rakaat.
Kata fal-yakuunuu (فَلْيَكُونُوا) artinya :hendaklah mereka berada. Kata min wara’ikum (مِنْ وَرَائِكُمْ) artinya :dari belakangmu.
Maksudnya bagi yang sudah menyelesaikan satu rakaat jadi makmum bersama Nabi SAW, mereka disuruh segera berpindah dari belakang Nabi SAW. Berpindahnya ke depan Nabi SAW lalu berdiri untuk berjaga dan bersiap-siap menghadapi musuh.
Yang jadi perdebatan para ulama adalah apakah mereka beranjaknya mereka dari barisan shalat lalu berpindah ke depan itu berarti dianggap sudah selesai shalat? Sebab mereka ini baru dapat satu rakaat, lantas bagaimana dengan rakaat yang kedua?
Apakah sudah dianggap selesai shalat hanya dengan satu rakaat saja, atau masih belum selesai shalatnya dan nanti masih harus diteruskan sendiri-sendiri untuk menutupi sisanya?
Kata wal-ta’ti (وَلْتَأْتِ) artinya : dan haruslah datang. Kata thaifatun (طَائِفَةٌ) artinya : sebagian, segolongan atau sekelompok. Kata ukhra (أُخْرَىٰ) artinya : yang lain. Kata lam yushallu (لَمْ يُصَلُّوا) artinya : mereka yang belum shalat. Kata fal-yushallu (فَلْيُصَلُّوا) artinya : maka haruslah mereka shalat. Kata ma’aka (مَعَكَ) artinya : bersama Kamu.
Dengan bubarnya shaf shalat di belakang Nabi SAW dan pindah ke depan untuk berjaga, maka pasukan yang tadinya berdiri di depan memegang senjata sambil berjaga kemudian diperintahkan untuk mundur ke belakang dan masuk ke dalam shaf shalat di belakang Nabi SAW. Tujuannya untuk mengerjakan shalat sebagai makmum di belakang Nabi SAW.
Namun ikutnya mereka ke dalam shalat berjamaah di belakang Nabi SAW dengan tetap wajib bersikap awas sambil tetap juga memegang senjata masing-masing, sebagai penggalan berikutnya.
وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
Kata wal-ya’khudzu (وَلْيَأْخُذُو) artinya : dan haruslah mereka mengambil. Kata hidzra-hum (حِذْرَهُمْ) artinya : penjagaan mereka, atau kewaspadaan serta kesigapan mereka. hendaklah mereka bersiap siaga dengan menyandang senjatanya.
Kata wa aslihata-hum (وَأَسْلِحَتَهُمْ) artinya : dan senjata-senjata mereka. Maksudnya, meskipun mereka sudah masuk barisan shaf shalat dan sudah mulai jadi makmum di belakang Nabi SAW, namun mereka bukan berarti boleh lengah. Justru mereka tetap diwajibkan memegang senjata, meski dalam keadaan shalat.
Teknis Shalat Khauf Yang Berbeda-beda
Secara teknis yang sederhana, di dalam Al-Quran sedikit disinggung teknis shalat khauf. Namun secara lebih rinci, ternyata ada beberapa versi yang berbeda dalam pendapat para ulama. Perbedaan ini lantaran ayat Al-Quran tidak secara detail menjelaskan bagian-bagian tertentu, sehingga muncul asumsi dan pandangan yang berbeda-beda.
Selain itu, ternyata ada banyak riwayat dari Rasulullah SAW yang ternyata juga berbeda satu dengan yang lain. Sehingga semakin membuat perbedaan teknis shalat khauf ini menjadi semakin nampak.
Namun perbedaan itu tidak menjadi masalah, sebab perbadaan teknis ibada itu memang sesuatu yang amat lazim dan tidak perlu diperdebatkan.
Bahkan berapa banyak bentuk Rasulullah SAW melakukan shalat khauf itu sendiri pun, para ulama berbeda-beda pendapat.
§Asy-Syafi'i mengatakan bahwa beliau SAW melakukan shalat khauf dengan 16 bentuk.
§Ibnul Qashshar dari mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa beliau SAW shalat khauf dengan 10 macam.
§Sedangkan Imam Ahmad mengatakan 6 atau 7 macam.
§Bahkan ada yang bilang 14 macam.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa semua hadits yang menceritakan perbedaan-perbedaan tata cara shalat khauf Nabi SAW bisa saja benar semua, karena memang beliau SAW shalat dengan berbagai cara yang berbeda.
Di antara bentuk teknis yang masyhur di kalangan ulama adalah bentuk-bentuk berikut ini:
1. Bentuk Pertama
Bentuk pertama adalah shalat khauf yang pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW pada perang Dzaturriqa'.
Caranya, imam membagi pasukan menjadi dua bagian. Dalam shalat yang cuma dua rakaat, seperti shalat shubuh atau shalat qashar, sebagian pasukan memulai shalat satu rakaat pertama bersama imam, dan sebagian lainnya berdiri berjaga.
Bila shalatnya lebih dari dua rakaat, misalnya shalat maghrib, atau shalat rubaiyah (yang empat rakaatnya) seperti shalat Dzhuhur, Ashar atau Isya yang tidak diqashar, maka pasukan pertama shalat dua rakaat terlebih dahulu bersama imam. Sampai disini, keempat mazhab sepakat tanpa perbedaan.
Mereka mulai berbeda pendapat dalam masalah kelanjutannya. Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwauntuk melanjutkan, misalnya ketika masuk ke rakaat kedua dalam shalat yang dua rakaat, atau mau masuk ke rakaat ketiga dalam shalat yang lebih dari dua rakaat, mereka keluar dari mengikuti imam dan menyempurnakan shalat sendiri tanpa imam. Kemudian mereka menghadapi musuh. Saat itu, pasukan yang tadi berjaga memulai shalat mereka dan menjadi makmum imam yang masih duduk menunggu.
Lalu imam bangun untuk melanjutkan rakaat kedua (shalat dua rakaat) atau rakaat ketiga (shalat yang lebih dari dua rakaat), diikuti oleh pasukan yang baru bergabung dan menyelesaikan shalat.Ketika imam sudah selesai dari shalatnya, makmum gelombang kedua ini bangun lagi untuk menyelesaikan shalat mereka.
Sedangkan menurut pendapat Al-Hanafiyah, ketika pasukan gelombang pertama sudah menyelesaikan satu rakaat pada shalat yang dua rakaatnya, atau selesai dua rakaat pada shalat yang rakaatnya lebih dari dua, mereka tidak menyelesaikan shalat sendiri, melainkan langsung keluar dari shaf untuk berjaga-jaga, tapi mereka tetap masih dalam keadaan shalat.
Lalu pasukan gelombang kedua masuk ke dalam barisan shalat bersama imam. Di akhir shalat, pasukan gelombang pertama kembali lagi meneruskan shalat bersama imam dan ikut salam bersama-sama.
2. Bentuk Kedua
Shalat khauf model ini dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika berada di Bathni Nakhl. Caranya, imam membagi pasukan menjadi dua bagian. Pasukan pertama ikut shalat bersama imam sampai tuntas, yang shalat dua rakaat dikerjakan dua rakaat, yang shalat tiga rakaat dikerjakan tiga rakaat, dan yang empat rakaat dikerjakan empat rakaat bersama imam. Lalu mereka mengucapkan salam dan selesai, kemudian bangun berjaga dan meninggalkan imam sendirian.
Kemudian pasukan yang belum shalat masuk ke dalam jamaah, dan imam memulai lagi shalat dari awal dan mengimami secara sempurna hingga salam. Artinya, dalam bentuk yang kedua ini, imam melakukan shalat dua kali. Shalat pertama itu hukumnya wajib baginya, sedangkan shalat yang kedua hukumnya menjadi nafilah atau sunnah baginya.
Bentuk shalat seperti ini lebih mudah dalam pelaksanaannya. Dan salah satu keunggulannya, shalat seperti ini bisa dikerjakan meski posisi musuh ada di arah yang berlawanan dengan arah kiblat.
3. Bentuk ketiga
Bentuk ini dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika berada di peperangan di daerah Usafan.
Caranya, imam membagi pasukan menjadi dua barisan dan memulai shalat bersama-sama, mulai dari takbiratul ihram, bacaan Al-Fatihah dan seterusnya sampai ruku' dan i'tidal.
Giliran sujud, duduk di antara dua sujud, sujud kedua hingga bangun dari sujud, yang mengikuti gerakan iman hanya makmum di barisan pertama. Sedangkan makmum di barisan kedua, tetap berdiri sambil berjaga-jaga.
Ketika imam dan makmum di barisan pertama sudah berdiri lagi, maka makmum di barisan kedua mulai sujud, duduk di antara dua sujud, sujud kedua dan bangun berdiri tegak. Kemudian imam memimpin semua barisan meneruskan rakaat kedua, ketiga dan begitu seterusnya.
Namun untuk rakaat yang kedua yang ikut sujud bersama imam adalah barisan yang kedua, sedangkan barisan yang pertama, berjaga-jaga. Jadi ada bergantian di tiap rakaat.
Cara seperti ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.
Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata, Aku ikut shalat khauf bersama Nabi SAW. Kami dibagi menjadi dua barisan. Satu barisan di belakang Rasulullah SAW, dimana posisi musuh berada di antara kami dan qiblat. Nabi SAW melakukan takbiratul ihram dan kami semua mengikutinya. Kemdian beliau ruku dan kami semua mengikuti beliau. Kemudian beliau bangun dari ruku dan kami semua mengikuti beliau. Kemudian beliau turun sujud bersama barisan yang paling dekat, sedangkan barisan kedua tetap berdiri menjaga musuh. Ketika beliau SAW selesai sujud dan berdiri lagi bersama-sama dengan barisan yang terdekat, maka barisan yang lain mulai turun melakukan sujud. Kemudian barisan yang di belakang maju ke depan, sedang barisan yang di depan mundur ke belakang. Kemudian beliau ruku' dan kami semua ikut ruku. Kemudian beliau bangun dari ruku' dan kami semua ikut bangun dari ruku'. Kemudian beliau turun untuk sujud dan barisan yang terdekat dengan beliau yang tadinya di belakang pada rakaat pertama ikut sujud bersama beliau. Dan barisan belakang tetap berdiri menjaga musuh. Ketika Nabi selesai dari sujud bersama dengan barisan yang terdekat, maka barisan yang tadi berjaga mulai turun untuk sujud. Kemudian beliau SAW mengucapkan salam, dan kami pun semua ikut mengucapkan salam. (HR. Muslim)
4. Bentuk Keempat
Shalat khauf bentuk keempat adalah bentuk yang paling kacau. Penulis mengistilahkannya dengan sebutan "free style".
Betapa tidak, karena shalat dilakukan dengan cara apa saja, baik dengan berjamaah atau sendiri-sendiri, baik dilakukan sambil menghadap kiblat atau kemana saja, baik dilakukan sambil berdiri, atau berjalan bahkan sambil berlari, baik dilakukan dengan ruku' dan sujud, atau pun dilakukan hanya dengan sedikit membungkukkan badan.[1]
Bentuk shalat seperti ini dilakukan pada saat keadaan kacau balau, jumlah musuh sangat besar dan pasukan tidak mampu melakukan perlawanan yang seimbang, sehingga pasukan kucar kacir.Pada saat seperti itu, shalat bisa dilakukan dengan cara apa saja, tanpa harus mengulanginya lagi. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا
Apabila kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah dengan berjalan kaki atau naik tunggangan.
Lafazh wadda (وَدَّ) adalah fi’il madhi dengan keterangan waktu bentuk lampau. Bentuk fi’il madhi dan mudharinya adalah (وَدَّ - يَوَدُّ), sedangkan maknanya adalah tamanna (تَمَنَّى) alias berangan-angan. Biasanya angan-angan bukan perkara yang bisa dengan mudah terjadi, lebih dekat ke mimpi. Dalam bentuk fi’ilmudhari’ ini asalnya dari (يَوْدّدُ) namun karena sulit melafazhkan huruf dal (د) dua kali berturut-turut.
Kata walladzina kafaru (الَّذِينَ كَفَرُوا) artinya : orang-orang kafir. Maksudnya adalah musuh-musuh kaum muslimin dalam peperangan.
Kata lau taghfuluna (لَوْ تَغْفُلُونَ) artinya : seandainya kamu lengah. Kata an aslihatikum (عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ) adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya yaitu (سِلاَح) dan artinya : dari senjata-senjata kamu.
Kata wa amti’atikum (وَأَمْتِعَتِكُمْ) adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya (مَتَاع) yang asalnya bermakna kesenangan, namun dalam konteks ini maknanya adalah perbekalan, atau barang bawaan atau secara umum maksudnya adalah harta benda.
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً
Kata fa yamiluna (فَيَمِيلُونَ) secara bahasa artinya : condong atau cederung. Kata ‘alaikum (عَلَيْكُمْ) artinya : atas kamu. Kata mailatan (مَيْلَةً) artinya : kecondongan sedangkan kata wahidah (وَاحِدَةً) satu kali.
Penggalan ini oleh Kementerian Agama RI diadaptasi terjemahannya menjadi : “lalu mereka menyerbumu secara tiba-tiba”. Sedangkan Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : “lalu mereka menyerbu kamu sekaligus”. Sedagkan Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : “lalu mereka bisa menyerang kamu dengan sekali serang”.
Ketika Nabi SAW melaksanakan shalat zuhur berjamaah bersama para pasukan muslimin, rupanya pasukan kafir sempat melihat pemandangan unik dan mereka berkata dengan sesama mereka, bahwa ada titik kelemahan kaum muslimin untuk bisa diserang secara tiba-tiba, yaitu ketika mereka sedang melakukan shalat berjamaah dalam perang.
Mereka pun kemudian mengatur strategi untuk memanfaatkan kesempatan shalat jamaah untuk menyerang pasukan muslimin. Namun Allah SWT segera memberitahukan kepada Nabi SAW rencana jahat mereka melalui ayat ini.
Kata wala junaha (فَلَا جُنَاحَ) maknanya : ”dan tidak mengapa”, atau “dan tidak ada dosa”. Lalu disambung dengan kata ’alaikum (عَلَيْكُمْ) yang artinya : “bagi kamu”. Umumnya para ulama mengatakan ungkapan ini mengadung ketentuan hukum kebolehan, kehalalan, keringanan atas suatu ketentuan hukum.
Namun biasanya diikuti dengan ‘illat atau syarat yang bisa diterima, yang dalam hal ini adalah in kaana bikum adza (إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى). Kata adza muncul banyak sekali di dalam Al-Quran dengan makna yang berbeda-beda tergantung konteks kalimatnya. Khusus yang di ayat ini, Kemenag RI dan Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : kesusahan. Sedangkan Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : halangan.
Kadang kata ini bermakna : kotoran
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran (QS. Al-Baqarah : 222)
Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (QS. Al-Baqarah : 196)
Gangguan di kepala ini maksudnya bahwa seseorang punya rambut yang penuh dengan kutu, sehingga menimbulkan rasa gatal yang hanya bisa dihilangkan dengan cara menggunduli kepalanya.
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), (QS. Al-Baqarah : 262)
Kadang bermakna : celaan lewat mulut yang kotor
لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا أَذًى
Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu. (QS. Ali Imran : 111)
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. (QS. Ali Imran : 186)
Penggalan ini memberi semacam keringanan bagi orang-orang tertentu untuk meletakkan senjata saat mengalami kesulitan. Hal ini menjadikan sesuatu yang sebenarnya lebih sempurna dalam pelaksanaan shalat menjadi keringanan di sini, karena segala perkara dinilai berdasarkan tujuannya, serta manfaat dan mudarat yang dihasilkan darinya. Oleh sebab itu, keringanan tersebut dibatasi dengan tetap disertai kewaspadaan.
مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ
Kata min matharin (مِنْ مَطَرٍ) artinya : baik karena hujan.
Alasan diberikannya keringanan ini adalah karena hujan dapat mengganggu kedua kelompok, baik kaum muslimin maupun juga pihak orang kafir sebagai musuhnya.
Cukup menarik membahas tentang hujan yang turun lalu bisa dijadikan salah satu faktor yang meringankan beberapa ibadah, setidaknya pernah terjadi di masa kenabian. Mungkin buat kita yang tinggal di Indonesia, hujan itu bukan hal yang menakutkan apalagi sampai menjadi kedaruratan yang berarti.
Namun Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah menjama' shalat Zuhur dengan Asar, serta shalat Maghrib dengan Isya' di kota Madinah, yang diasumsikan oleh Jabir bin Abdillah disebabkan karena turunnya hujan.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu Bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya'”. Ayyub berkata,”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahumallah, keduanya memandang bahwa hadits ini menegaskan bahwa shalat jama' tersebut terjadi bukan karena takut dan juga bukan karena safar, padahal jama' itu dilakukan di dalam kota Madinah, maka kemungkinan hal itu dilakukan karena terjadinya hujan.
Namun, jumhur ulama tidak menerima tambahan riwayat dari Imam Muslim bahwa hal itu terjadi bukan karena takut dan safar. Sebab, riwayat itu dianggap menyelisihi riwayat jumhur.
Kata au kuntum mardha (أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ) artinya : maupun kamu jadi orang sakit. Orang yang menderita sakit beberapa kali Allah SWT jadikan faktor yang meringankan di banyak ayat Al-Quran. Diantaranya bolehnya tayamum dan tidak puasa Ramadhan karena sakit.
Bertayammum dengan menggunakan tanah sebagai pengganti wudhu’, salah satu penyebab kebolehannya adalah sakit.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah. (QS. An-Nisa : 43)
Begitu juga berpuasa Ramadhan yang wajib itu boleh ditinggalkan bila seseorang sedang dalam keadaan sakit.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 184)
Maka dalam urusan kebolehan tidak membawa senjata ketika sedang shalat ini pun, bagi mereka yang sedang sakit, mendapatkan keringanan atau kebolehan.
Kata an tadha’u (أَنْ تَضَعُوا) artinya : kamu meletakkan. Kata aslihata-kum (أَسْلِحَتَكُمْ) artinya : senjata-senjata kamu.
Penggalan ini adalah kebalikan dari perintah sebelumnya. Pada perintah sebelumnya, meskipun sedang melakukan shalat berjamaah dan sudah masuk barisan shaf shalat, bahkan sudahjadi makmum di belakang Nabi SAW, namun mereka tetap diwajibkan memegang senjata.
Namun karena kondisi gangguan hujan ataupun juga sakit, maka mereka dibolehkan untuk tidak memegang senjata sambil shalat. Akan tetapi mereka tetap wajib berjaga-jaga.
Kata wa khudzu(وَخُذُوا) artinya : dan ambillah. Kata hidzra-kum (حِذْرَكُمْ) artinya : penjagaan kamu, atau kewaspadaan serta kesigapan kamu. Meskipun dibolehkan untuk meletakkan senjata, namun tetap harus waspada, berhati-hati dan siap dengan kemungkinan yang paling buruk.
Kata innallaha (إِنَّ اللَّهَ) artinya : Sesungguhnya Allah. Kata a’adda (أَعَدَّ) merupakan kata kerja dalam bentuk fi’il madhi yang bermakna : telah menyediakan atau telah menyiapkan. Kata lil-kafirina (لِلْكَافِرِينَ) artinya : bagi orang-orang kafir. Kata adzaban (عَذَابًا) artinya : siksa. Kata muhina (مُهِينًا) artinya : yang menghinakan.
Penggalan yang menjadi penutup ayat ini nampak sekali ingin memberi semangat kepada kaum muslimin. Dasarnya karena sebelumnya Allah SWT berkali-kali memerintahkan kaum muslimin untuk shalat sambil menenteng senjata, bahkan perintah untuk berhati-hati diulang-ulang terus.
Secara psikologis, perintah semacam ini bisa memicu munculnya rasa takut yang berlebihan terhadap musuh dalam hati kaum muslimin. Dan itu menjadi kontra produktif juga kalau reaksinya terjadi secara berlebihan.
Maka untuk itu harus ada pemantapan langsung dari Allah bahwa untuk orang-orang kafir itu telah disediakan siksa neraka yang menghinakan. Azab tersebut berupa kekalahan, pembunuhan, dan penawanan, sebagaimana dalam firman-Nya:
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ
"Perangilah mereka, Allah akan mengazab mereka dengan tangan kalian" (QS. At-Taubah: 14).
Maka perintah untuk berhati-hati dan membawa senjata tidak lain adalah untuk mewujudkan sebab-sebab yang telah Allah sediakan bagi mereka. Sebab, jika Allah menghendaki suatu perkara, Dia akan mempersiapkan sebab-sebabnya.
Dalam hal ini, terdapat pelajaran bagi kaum muslimin agar mereka mencari hasil (musabab) melalui sebab-sebabnya, yaitu jika kalian berhati-hati, kalian akan selamat dari musuh kalian.