Dalam banyak literatur Fiqih, tak sedikit kita bisa temukan pendapat ulama tentang urgensi keberadaan wali bagi wanita. Sebagian besar ulama menganggapnya sebagai bagian dari rukun dalam nikah yang bilamana tidak terpenuhi maka tidaklah sah pernikahan tersebut. Namun berbeda dengan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa izin dan kehadiran wali hanyalah sebatas kepada hukum yang mustahab (disukai) dan tidak berpengaruh pada keabsahan akad nikah.
Barangkali di tanah air dan sebagian besar negara dengan penduduk muslim, banyak yang menganut pendapat madzhab pertama, atau pendapat jumhur ulama yang mewajibkan izin dan keberadaan wali dalam nikah, bahkan hal ini tertulis dalam regulasi pernikahan dan tertera dalam undang-undangnya.
Begitupula dengan negara yang dominan mengikuti madzhab Hanafi, tentunya mereka tidak menganggap izin dan keberadaan wali sebagai syarat sahnya pernikahan. Sehingga hal tersebut berpengaruh kepada tata cara pernikahan di negara tersebut, bahkan kepada undang-undang terkait perwalian dalam nikah. Seperti di Pakistan, wanita yang sudah masuk kategori dewasa, berakal sehat, dan mampu melakukan akad seperti halnya jual beli, maka dia berhak melangsungkan akad nikah baik dengan adanya izin wali ataupun tidak.
Pendapat Jumhur Ulama
Jumhur (mayoritas) ulama sepakat bahwa menikah tanpa wali dianggap tidak sah, mereka bersandar kepada dalil-dalil berikut:
Hadist pertama:
Diriwayatkan oleh Zuhri dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda: siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya batil
Hadist kedua:
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Daru Quthni dari Abu Hurairah R.A bahwasanya Nabi SAW bersabda: Janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri.
Dari Al-Qur’an:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. An-Nuur : 32].
Berdasarkan dalil-dalil di atas maka mayoritas para ulama berpendapat bahwa nikah tanpa wali adalah haram karena redaksi nushus yang spesifik menegaskan hal tersebut[1].
Sebagaimana ditegaskan oleh imam An-Nawawi dalam menanggapi hadist pertama di atas:
Dan telah berpendapat Ali, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Aisyah, dan Hasan Al Bashri, Ibnu Musayyib, Ibnu Syabarma, dan Ibnu Abi Laily, dan Ahmad, dan Ishaq, dan Syafi’i, beserta Mayoritas Ahli Ilmu: semuanya berkata bahwa tidak dibenarkan akad (nikah) tanpa wali[2].
Apa Alasan Madzhab Hanafi Membolehkan Nikah tanpa wali?
Ternyata ada sejumlah dalil dan jawaban dari golongan Hanafiyah tentang kebolehan bagi seorang wanita menikah tanpa wali. Di antaranya adalah dari hadist:
Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda: Wanita yang belum menikah lebih berhak atas dirinya daripada walinya (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Malik dalam al Muawatho’)
Selanjutnya dalil dari Riwayat Sahabat:
Dari Sahal bin Sa’ad berkata: Datang seorang wanita kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepadamu. Kemudian seorang sahabat berkata kepada Rasulullah: Nikahkanlah aku dengannya. Lalu Rasulullah SAW berkata : Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang miliki dari bacaan Qura’an. (HR. Bukhari)
Dari riwayat di atas, tidak ditemukan redaksi tentang apakah saat itu Rasulullah menanyakan tentang keberadaan wali dari wanita tersebut. justru yang difahami oleh madzhab ini adalah bahwa beliau SAW langsung menikahkan sahabat dengan si wanita tadi.
Kemudian ada juga dalil dari ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan madzhab ini, diantaranya:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah : 232)
Imam Jashos dari Hanafiah menjelaskan tentang ayat ini dalam kitabnya, Ahkamul Qur’an:
Dan ayat ini bermakna kepada sejumlah segi atas kebolehan nikah yang terjadi kepada wanita tanpa adanya wali dan tanpa izin dari walinya. Yang pertama adalah penyerahan otoritas akad kepadanya tanpa syarat harus izin kepada walinya, dan yang kedua larangan terhadap para wali untuk mencegah putrinya bila kedua calon mempelai sama-sama saling ridha[3].
Jawaban Madzhab Hanafi Terhadap dalil Mayoritas Ulama
Dalam menanggapi dua hadist yang menjadi landasan Jumhur ulama, para imam madzhab ini berpendapat bahwa hadist pertama yang diriwayatkan Zuhri masih diragukan dan dianggap cidera, Karena saat Zuhri ditanya tentang hal tersebut malah tidak tahu[4].
Lalu pada hadist kedua, perlu dilirik kembali redaksinya menurut mereka. Dalam madzhab ini, hadist tersebut berlaku hanya untuk wanita yang belum baligh maka harus ada izin dari wali. Kemudian maksud dari “Janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri” adalah larangan bagi wanita dewasa menikahkan wanita yang masih anak-anak sepanjang masih ada walinya, serta dilarang bagi wanita yang belum baligh menikahkan dirinya sendiri[5].
Secara garis besar semua dalil yang berkaitan dengan pelarangan nikah tanpa wali menurut madzhab ini, objek redaksinya dikhususkan kepada wanita yang belum baligh, tidak berakal, tidak merdeka, dan belum mumayyiz[6]. Adapun dalil dari AL-Qur’an yang digunakan landasan oleh Jumhur, tidak menunjukan pengkhususan kepada hak perwalian yang eksplisit menurut madzhab ini.
Meski demikian, tidak semua ulama madzhab ini sepakat satu suara dalam hal ini, seperti Imam Abu Yusuf yang berpendapat seperti jumhur ulama. Adapula yang mengatakan bahwa akadnya sah namun tetap dihukumi makruh.
Semua Wanita Boleh Menikah Tanpa Izin Walinya?
Ternyata tidak semua wanita boleh menikah tanpa izin dari walinya, para ulama dari madzhab ini tetap membatasi siapa yang boleh menikah tanpa izin dari walinya. Dikatakan dalam kitab Fathul Qadir dikatakan:
Perwalian dalam nikah itu ada dua jenis: jenis yang mandub dan mustahab, yakni perwalian atas wanita yang sudah baligh, berakal, baik itu perawan atau janda. Dan perwalian yang diharuskan yakni perwalian atas wanita yang masih kecil (belum baligh) baik itu perawan atau janda, begitupula wanita dewasa yang gila dan budak[7].
Bahkan dalam riwayat lain, imam Hasan As-Syaibani dari Hanafiah mengatakan bahwa yang boleh jika wanita dan lelakinya sekufu, jika tidak sekufu maka tidak boleh bagi wanita menikah tanpa walinya[8].
Imam Abu Hanifah mengqiyaskan akad nikah dengan akad jual beli pada umumnya, dimana beliau menitik beratkan kepada pelaku transaksinya adalah baligh, berakal, mumayyiz, dan pada intinya adalah mereka yang mampu melakukan transaksi jual beli secara sehat dan syar’i.
Undang-Undang di Pakistan Terkait Nikah Tanpa Wali
Berbeda dengan Indonesia, negara yang menamakan dirinya Islamic Republic of Pakistan ini, dominan memegang teguh madzhab Hanafi. Hingga pada konteks pernikahanpun secara de jure dalam regulasi pernikahan antar muslim diatur sesuai faham madzhab Hanafi, termasuk pada hak perwalian.
Dalam Muslim Marriage Act, 1957 article 7 tertulis[9]:
“The age at which a person, being a member of the Muslim community, is capable of contracting marriage shall be sixteen years : Provided that in the case of an intended marriage between persons either of whom being a male is under twenty-one years of age or being a female is under eighteen years of age (not being a widower or widow), the consent to such marriage, of the father if living, or, if the father is dead, of the guardian or guardians lawfully appointed or of one of them, and, if there is no such guardian, then of the mother of such person so under age.
“Usia minimal bagi seseorang sebagai umat muslim yang diperbolehkan melakukan akad nikah adalah 16 tahun: ini bersyarat dalam hal kesepakatan melakukan nikah bagi laki-laki di bawah 21 tahun, atau bagi wanita di bawah 18 tahun (bukan duda ataupun janda), maka harus ada izin atas pernikahan tersebut dari ayahnya bila masih hidup, bila meninggal, maka izin dari wali atau wali sah yang diwasiatkan atau salah satu dari mereka, dan jika tidak ada wali, maka izin boleh dari ibu sang anak yang di bawah umur tersebut”
Dalam undang-undang ini, menunjukan bahwa wanita di atas usia 18 tahun boleh menikah tanpa wali, dan ini banyak terjadi di Pakistan.
Bahkan Federal Shariat Court banyak menangani sejumlah kasus terkait nikah tanpa wali yang kadang berbeda keputusan dengan High Court. Dalam hal ini, segala keputusan yang telah ditetapkan oleh Federal Shariat Court bila bertentangan dengan High Court dan cabangnya, maka yang diunggulkan adalah keputusan Federal Shariat Court, hal ini tertera dalam Constitution Pakistan article 203-GG yang berbunyi:
“any decision of the Court in the exercise of its jurisdiction under this Chapter shall be binding on a High Court and on all courts subordinate to a High Court”
“segala keputusan pengadilan (Federal Shariah Court) dalam menjalankan yurisdiksinya di bawah pasal ini, harus mengikat ketetapan High Court dan semua pengadilan di bawahnya.
Kesimpulnya adalah, bahwa Undang-undang pernikahan di Pakistan dalam hal perwalian, memberikan kebebasan kepada wanita yang telah dewasa untuk menikah, baik dengan izin wali ataupun tanpa izinnya. Hal ini tentu mengadopsi dari pendapat madhzab Hanafi yang sangat kuat diikuti oleh muslim di negara ini, yang mana imam Abu Hanifah menganggap nikah dengan izin wali bagi wanita dewasa, berakal, baligh, dan mumayiz, hanyalah sebatas mustahab. Namun tetap bagi mereka, izin wali sangat diutamakan.
Bagaimana dengan di Indonesia? Tentu faham madzhab ini tidak berlaku, selain karena kita lebih mengikuti pendapat jumhur ulama dengan dalil-dali tersebut, nikah di KUA tanpa walipun tidak akan sah secara yuridis.
Wallahu a’lam bishhowab
[1] Iwad Al Jaziry. Al Fiqhu ‘ala-l-madzahib al-arba’ah. 4/46
[2] Imam An-nawawi. Al Majmu Syarhu-l-Muhadzab. 16/149
[3] Abu Bakar Ar-Rozy Al Jashos Al Hanafi. Ahkamu-l-Qur’an. 2/100
[4] Al-Fiqhu ‘ala-l-madzahib al-arba’ah. 4/46
[5] Ibid.
[6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah. 14/192
[7] Ibnu-l-Humam. Fathul Qadir. 3/255
[8] Imam Sarakhsi. Al-Mabsut. 5/10
[9]Muslim Marriage Act, 1957 adalah Undang-undang pernikahan muslim yang berlaku di Pakistan.
Karena Khabar Ahad Bukan Hujjah
Firman Arifandi, Lc., MA | 3 November 2019, 20:03 | 2.113 views |
Nasakh Versi Syafiiyah dan Hanafiyah
Firman Arifandi, Lc., MA | 16 October 2019, 05:27 | 2.032 views |
Hari Arafah Ikut Waktu Wuquf atau Ikut Isbat Tiap Negara Saja?
Firman Arifandi, Lc., MA | 7 July 2019, 20:34 | 7.524 views |
Tradisi Manaqiban dan Haul Menurut Salafushhalih
Firman Arifandi, Lc., MA | 1 July 2019, 05:47 | 5.934 views |
Haramkah Menggelar Doa Akhir dan Awal Tahun Menyambut Muharram
Firman Arifandi, Lc., MA | 9 June 2019, 05:53 | 2.769 views |
Bolehkah Tabarrukan ke Makam Rasulullah dan Shalihin?
Firman Arifandi, Lc., MA | 8 May 2019, 06:04 | 2.714 views |
Jika Makmum dan Imam Berbeda Niat Shalat
Firman Arifandi, Lc., MA | 26 August 2018, 21:07 | 8.607 views |
Fiqih dan Madzhab dalam Frame Sejarah (PART II)
Firman Arifandi, Lc., MA | 25 June 2018, 13:11 | 7.472 views |
Fiqih dan Madzhab dalam Frame Sejarah (PART I)
Firman Arifandi, Lc., MA | 22 June 2018, 12:59 | 12.239 views |
Sembelihan Ahli Kitab Zaman Sekarang Masihkah Dihalalkan?
Firman Arifandi, Lc., MA | 19 June 2018, 13:49 | 14.693 views |
Fatwa Ulama Seputar Puasa di Negara Dengan Durasi Siang yang Panjang
Firman Arifandi, Lc., MA | 11 June 2018, 10:15 | 5.379 views |
Jika Dalil Kita Selalu Bertentangan
Firman Arifandi, Lc., MA | 14 February 2018, 20:15 | 20.413 views |
Tradisi Masyarakat Bisa Menjadi Dalil Dalam Agama?
Firman Arifandi, Lc., MA | 27 September 2017, 12:00 | 26.226 views |
Ayat-ayat Hukum Terancam Expired?
Firman Arifandi, Lc., MA | 16 August 2017, 10:30 | 7.553 views |
Jenis Gerakan yang Membatalkan Shalat
Firman Arifandi, Lc., MA | 21 February 2017, 01:03 | 33.632 views |
Nikah Tanpa Wali: Dari Madzhab Hanafi Hingga Implementasinya Dalam UU Pernikahan di Pakistan
Firman Arifandi, Lc., MA | 1 February 2017, 01:45 | 42.531 views |
Kembali Kepada Al-quran dan Hadist, Seperti Apa?
Firman Arifandi, Lc., MA | 14 January 2017, 16:07 | 13.267 views |
Hukum Waris: Diskriminasi Islam Terhadap Perempuan?
Firman Arifandi, Lc., MA | 3 January 2017, 02:54 | 7.623 views |
Diharamkan Melakukan Hal yang Belum Pernah Dilakukan Nabi?
Firman Arifandi, Lc., MA | 29 November 2016, 09:24 | 6.704 views |
Menampar Istri yang Berbuat Nusyuz, Bolehkah?
Firman Arifandi, Lc., MA | 29 July 2016, 10:49 | 4.553 views |
Perjalanan Pulang Ke Indonesia Menjelang Ramadhan; Ikut Awal Puasa Negara Setempat Atau Indonesia?
Firman Arifandi, Lc., MA | 4 June 2016, 17:48 | 6.103 views |
Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum: Sejarah, Urgensi, dan Sistematikanya (PART II)
Firman Arifandi, Lc., MA | 21 April 2016, 09:11 | 25.214 views |
Qawaid Fiqhiyyah (Islamic Legal Maxim) Sebagai Formulasi Hukum: Sejarah, Urgensi, dan Sistematikanya (PART I)
Firman Arifandi, Lc., MA | 20 April 2016, 06:14 | 16.987 views |
Ahmad Zarkasih, Lc | 106 tulisan |
Hanif Luthfi, Lc., MA | 66 tulisan |
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA | 57 tulisan |
Ahmad Sarwat, Lc., MA | 48 tulisan |
Isnan Ansory, Lc, MA | 26 tulisan |
Firman Arifandi, Lc., MA | 23 tulisan |
Sutomo Abu Nashr, Lc | 20 tulisan |
Aini Aryani, Lc | 19 tulisan |
Galih Maulana, Lc | 15 tulisan |
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 13 tulisan |
Ali Shodiqin, Lc | 13 tulisan |
Isnawati, Lc., MA | 9 tulisan |
Muhammad Ajib, Lc., MA | 9 tulisan |
Siti Chozanah, Lc | 7 tulisan |
Tajun Nashr, Lc | 6 tulisan |
Maharati Marfuah Lc | 5 tulisan |
Faisal Reza | 4 tulisan |
Ridwan Hakim, Lc | 2 tulisan |
Muhammad Aqil Haidar, Lc | 1 tulisan |
Muhammad Amrozi, Lc | 1 tulisan |
Luki Nugroho, Lc | 0 tulisan |
Nur Azizah, Lc | 0 tulisan |
Wildan Jauhari, Lc | 0 tulisan |
Syafri M. Noor, Lc | 0 tulisan |
Ipung Multinigsih, Lc | 0 tulisan |
Solihin, Lc | 0 tulisan |
Teuku Khairul Fazli, Lc | 0 tulisan |
Jadwal Shalat DKI Jakarta7-3-2021Subuh 04:42 | Zhuhur 12:05 | Ashar 15:08 | Maghrib 18:13 | Isya 19:20 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Materi | Buku | PDF | Ustadz | Mawaris | Video | Quran | Pustaka | Radio | Jadwal Link Terkait : Sekolah Fiqih | Perbandingan Mazhab | img
|