Fri 8 February 2013 03:03 | Ushul Fiqih > Ulama | 12.332 views
Jawaban :
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya secara pribadi memang ikut merasakan apa yang antum rasakan. Benar bahwa kita hidup di zaman krisis para ulama, dimana kehilangan mereka karena mereka umumnya telah menghadap Allah SWT.
Sebenarnya keadaan ini bukan terjadi tiba-tiba. Rasulullah SAW 14 abad yang lalu memang telah mengisyaratkan bahwa di akhir zaman kita akan mengalami krisis ulama, dalam artinya para ulama dicabut nyawanya, sehingga yang tersisa hanya tokoh-tokoh jahil saja.
Orang jahil disini maksudnya tentu bukan orang bodoh, tetapi maksudnya tokoh agama, tetapi kapasitasnya bukan ahli ilmu agama atau ilmu syariah.
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam pada akhir masa nanti akan kehilangan para ulama, lantas mereka menjadikan para pemimpin yang bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya masalah agama.
Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak orang. Dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW 14 abad yang lalu rasanya sangat tepat kalau kita sebut bahwa hari ini benar-benar sedang terjadi.
Dan lebih tepat lagi kalau kita sebut lokasinya adalah Indonesia, sebuah negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi sedikit sekali orang yang berkapasitas ulama.
Saya cenderung berpendapat bahwa ketika Rasulullah SAW menceritakan hal ini, bukan dalam posisi ingin melemahkan semangat kita, sehingga kita cuma disuruh pasrah saja. Memang ada sebagian teman yang cenderung begitu, yaitu menyerah kepada keadaan. Kalau Allah sudah mentakdirkan seperti itu, masak kita mau lawan, begitu argumentasi mereka.
Tetapi saya secara pribadi agak berbeda memahaminya. Hadits Rasulullah SAW itu justru merupakan cambukan buat kita, peringatan serta perintah untuk memperbaiki keadaan itu. Bahkan kalau pun besok pagi dipastikan kiamat terjadi, hari ini kita masih wajib menyiapkan kelahiran para ulama generasi berikutnya
Maka kita harus memahami hadits ini dengan cara yang benar, yaitu hadits ini menjadi perintah untuk mendidik dan melahirkan kembali para ulama di masa modern ini.Dan bukan untuk kita mati tanpa berjuang.
Menjadi Ulama Bukan Faktor Keturunan
Tidak ada seorang pun yang lahir ke dunia tiba-tiba langsung jadi ulama. Bahkan meski lahir dari tujuh keturunan ulama, tetap saja tidak akan jadi ulama kalau tidak dididik, dibina, disiapkan dan sedikit 'dipaksa'. Paling banter cuma bisa bangga bahwa dirinya masih keturunan ulama, tetapi tetap saja dirinya itu sama sekali bukan ulama.
Bukti otentiknya ada dimana-mana, betapa banyak penjahat, preman, koruptor atau tukang narkoba yang ternyata kalau diusut-usut masih keturunan ulama. Sebaliknya, berapa banyak ulama yang ternyata orangtuanya hanya petani miskin di desa, atau buruh yang keberatan beban. Intinya, untuk jadi ulama itu tidak ditentukan dari faktor keturunan, nasab atau garis keluarga.
Yang Menentukan Adalah Kualitas Pendidikan
Tetapi yang menentukan pada akhirnya adalah kualitas pendidikan, sistem pengkaderan, kurikulum yang berkualitas, guru yang ahli serta kemampuan teknis yang terus diasah. Semua itu seharusnya bisa terangkum dalam sebuah sistem yang terpadu, yang merupakan paket pendidikan ulama berstandar mutu baik.
1. Sejak Masih Pendidikan Dasar dan Menengah
Mempersiapkan pendidikan buat para calon ulama tentu harus sejak kecil. Kita tidak boleh pakai ilmu sihir sim salabim kotak televisi, dimana preman, pelawak, artis, dan selebriti, tiba-tiba 'disulap' jadi ulama. Tidak mentang-mentang pinter cuap-cuap di panggung, lucu, menarik, segar, penuh humor, lalu tiba-tiba begitu saja dijadikan ulama. Jangankan jadi ulama, jadi ustadz pun tidak boleh.
Maka langkahnya harus sejak dini, yaitu sejak masih jenjang pendidikan dasar dan menengah, anak-anak kita itu sudah kita sekolahkan di Madrasah atau pesantren. Tetapi mengelola madrasah dan pesantren hari ini harus pintar dan cerdas. Sebab kalau kurang pandai, boleh jadi para santri cuma merasa dipaksa-paksa saja, lantaran peraturan pesantren terlalu kaku dan menyeramkan.
Anak saya saja langsung kabur begitu masuk percobaan pesantren tiga hari. Alasannya menurut dia, pesantren itu kurang sejalan dengan perkembangan zaman, kaku dan mirip barak militer. Apa-apa serba aturan, sedikit-sedikit dianggap pelanggaran, lalu ada hukuman. Jadi kita ini kayak hidup di dalam penjara, semua santri ibarat pesakitan yang cuma tahu satu kata : taat. Itu alasan anak saya ogah balik lagi ke pesantren.
Maka yang perlu dijaga sekali adalah jangan sampai mereka kehilangan motivasi, sehingga menganggap pesantren sebagai penjara yang mengekang kebebasan. Sehingga dengan disabar-sabarkan, mereka pun lulus pesantren, tetapi ada dendam kesumat, yaitu ogah, emoh, tidak mau lagi disekolahkan di sekolah-sekolah yang berbau agama. Sebab sudah terpatri di dalam alam bawah sadar mereka, bahwa sekolah agama itu tidak baik.
Contoh kasusnya terjadi pada salah seorang sepupu saya. Sejak kecil dia sudah masukkan puteranya ke pesantren yang berkualitas. Tentu niatnya mulia sekali, yaitu berharap nanti bisa jadi ulama. Lulus dari pesantren 6 tahun kemudian, niat si ayah ingin membiayai anaknya kuliah ke Al-Azhar Mesir, eh ternyata si anak lebih tertarik masuk ke kuliah yang bukan agama, seperti kuliah teknik, kedokteran, jurnalistik dan sejenisnya.
Pupuslah harapan sang ayah, ingin menjadikan si anak sebagai ulama yang berlimpah dengan ilmu-ilmu syariah. Bukan berarti jadi dokter, insinyur atau wartawan itu tidak mulia, tetapi yang namanya sosok ulama pasti berbeda dengan profesi lain. Setidaknya, itulah cita-cita yang ada dalam tiap hati orang-orang betawi, yaitu ingin anaknya jadi ulama.2. Rendahnya Kualitas Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
Sayang sekali ternyata perguruan tinggi Islam yang ada di negeri kita rata-rata punya kekurangan yang agak fatal, baik secara kualitas atau pun kuantitas.
Sebut saja yang paling sederhana masalah input mahasiswa. Selain yang berminat sangat sedikit dibandingkan perguruan tinggi umum, ternyata tidak ada seleksi yang ketat, sehingga mahasiswa dengan kualifikasi apa saja bisa masuk. Akibatnya, perkuliahan kembali lagi ke level paling dasar, yaitu seperti mahasiswa di perguruan tinggi umum.
Padahal seharusnya kampus menyeleksi hanya mahasiswa yang sudah fasih berbagai Arab dan lancar membaca kitab gundul saja yang boleh ikutan. Tes yang dilakukan setidaknya dari sisi kemampuan bahasa dengan penguasaan yang sempurna.
Musibah lainnya juga karena kebanyak dosen yang tersedia rata-rata bukan lulusan dari Timur Tengah, tetapi malah dari Barat, yang nota bene tidak punya akar kuat pada validitas ilmu-ilmu keislaman. Akhirnya jangan kaget kalau lulus dari perguruan tinggi Islam, tidak sedikit mahasiswa kita bukannya jadi ulama, tetapi malah jadi penghujat Islam sejati. Naudzubillah
3. Kuliah Berkualitas
Jujur harus diakui bahwa sampai saat ini perguruan tinggi Islam berkualitas yang direkomendasikan masih sebatas yang ada di Timur Tengah saja, seperti Mesir, Saudi, Syria, Sudan, dan lainnya. Selain dosennya adalah para ulama, kitabnya masih kitab-kitab asli baik turats atau muashir, keaslian dan kemurnian ilmunya masih terjaga. Kalau anak mau dijadikan ulama, sebaiknya memang mereka dikuliahkan kesana.
Paket yang agak istimewa adalah Universitas Islam Muhammad Ibnu Suud yang berkdudukan di ibukota Saudi Arabia, Riyadh. Kampus ini membuka cabang di beberapa negara, termasuk di Jakarta. Nama nasionalnya adalah LIPIA. Sistem, kurikulum, kualitas dosen dan mahasiswa, bahasa pengantar, serta literatur, semuanya berstandar Saudi. Dosennya pun orang Arab betulan, lengkap dengan jenggot dan kadang baju gamisnya.
Bahkan juga ada liburan musim panas ('uthlah shaifiyah), walau pun di Jakarta lagi musim duren. Tetapi semua kegiatan belajar mengajar di Jakarta.
4. Mudah Gugur di Tengah Jalan
Kalau anak sudah kuliah di Mesir, Saudi, Syiria atau LIPIA, bukan berarti masalah sudah selesai dan dijamin akan jadi ulama. Anggapan ini adalah sebuah kesalahan yang amat fatal. Memang jurusannya sudah benar, tetapi ingat bahwa jalannya jauh, banyak persimpangan, perempatan, parkir liar, warung liar dan sebagainya. Sehingga tidak ada jaminan kalau sudah di kampus seperti itu, langsung otomatis pasti jadi ulama.
Sayangnya, setelah kepulangan dari Mesir 4 tahun kemudian, si anak sama sekali tidak pernah beraktifitas keagamaan, ceramah atau menulis atau mengisi kajian. Tetapi lebih suka berbisnis jualan paket haji dan umrah. Giliran dipaksa untuk ceramah, si anak mengaku bahwa dirinya tidak siap, karena dulu waktu masih di Mesir, kesibukannya cuma jadi tukang mengantar wisatawan kesana-kemari.
Maka meneteslah sebutir air mata dari kelopak mata sang Ayah, beliau kecewa berat tapi hanya ditahan saja dalam hati. Cuma ketika bertemu saya dan membahas masalah ini, makin berderailah air matanya. Dalam hatinya, sang Ayah sangat ingin anaknya bisa jadi ulama kharismatik, banyak ilmunya, aktifitasnya mengisi pengajian dengan kitab yang telah dipelajarinya selama belasan tahun ini. Kok ternyata pulang dari Mesir cuma jadi tukang travel, begitu keluh kesah sang Ayah.
Memang jalan menuju kepada kualitas ulama ini bukan jalan yang pendek, dan masa yang dibutuhkan tidak sebentar. Jenjang demi jenjang pendidikan harus mereka lalui dengan tertatih-tatih.
Apakah Kitab Barzanji Syirik dan Bidah? 7 February 2013, 07:34 | Aqidah > Syirik dan Bidah | 119.397 views |
Tata Cara dan Bacaan Sujud Sahwi 6 February 2013, 00:16 | Shalat > Sujud | 75.578 views |
Benarkah Menuduh Orang Berzina Dicambuk 80 Kali? 5 February 2013, 01:00 | Jinayat > Zina | 36.240 views |
Kafirkah Indonesia Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah? 4 February 2013, 11:35 | Negara > Hukum Islam | 15.053 views |
Tertangkap Tangan Sedang Berduaan Dengan Wanita di Hotel 3 February 2013, 23:01 | Negara > Polemik | 16.181 views |
Hukuman Buat Orang Yang Mengkonsumsi Khamar 3 February 2013, 14:03 | Jinayat > Minum Khamar | 30.869 views |
Adakah Nikah Jarak Jauh? 3 February 2013, 00:19 | Pernikahan > Nikah berbagai keadaan | 10.355 views |
Mau Tobat karena Mencuri dan Memakan Haram, Bagaimana Caranya? 2 February 2013, 11:56 | Umum > Tasawuf | 17.595 views |
Utang Piutang Dengan Standar Dinar 1 February 2013, 10:10 | Umum > Hukum | 7.226 views |
Apakah Korupsi Dosa Besar? 31 January 2013, 22:51 | Kontemporer > Perspektif Islam | 9.384 views |
Bolehkah Umrah dengan Berhutang 30 January 2013, 22:46 | Haji > Umrah | 19.235 views |
Haruskah Menikah Dengan Ikhwan? 30 January 2013, 08:56 | Dakwah > Jamaah | 11.599 views |
Mendirikan Televisi Khusus Konsumsi Umat Islam 30 January 2013, 01:07 | Dakwah > Belajar agama | 7.977 views |
Hukum Main Drama, Teater, Sinetron dan Film 29 January 2013, 00:22 | Umum > Hukum | 33.351 views |
Bingung Baca Terjemah Quran dan Kitab Hadits 28 January 2013, 23:39 | Al-Quran > Tilawah | 16.665 views |
Belanja Dengan Cicilan 0 % Termasuk Riba? 28 January 2013, 03:29 | Muamalat > Riba | 59.371 views |
Jarak Antar Musholla Berdekatan 28 January 2013, 02:30 | Kontemporer > Fenomena sosial | 12.427 views |
Berbekam Bukan Sunnah Nabi? 27 January 2013, 09:05 | Hadits > Syarah Hadits | 16.386 views |
Adakah Kedokteran Nabawi? 26 January 2013, 02:33 | Umum > Rosulullah | 7.142 views |
Ahli Waris : Istri, Ibu Kandung, Dua Anak Perempuan dan Saudara/i 24 January 2013, 23:51 | Mawaris > Ahli waris | 69.610 views |
TOTAL : 2.294 tanya-jawab | 48,392,322 views
Jadwal Shalat DKI Jakarta5-2-2023Subuh 04:36 | Zhuhur 12:08 | Ashar 15:27 | Maghrib 18:21 | Isya 19:31 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Buku | PDF | Quran | Pustaka | Jadwal | Sekolah Fiqih
|