Lafazh anfiqu (أَنْفِقُوا) adalah fi’il amr dari asal kata (أنفق - ينفق) yang maknanya adalah berinfaqlah. Sebenarnya kata infaq punya kata dasar yang sama dengan nafkah, yaitu membiayai rumah tangga, baik istri atau pun anak.
Yang membedakannya dengan nafkah istri dan anak adalah lafazh fi sabillilllah (فِي سَبِيلِ اللَّهِ), yang bermakna harfiyah : di jalan Allah. Maksudnya membiayai perang yang Allah SWT perintahkan.
Ungkapan wala tulqu (تُلْقُوا) adalah fi’il nahyi yang asal katanya dalam bentuk madhi dan mudhari’nya adalah (أَلْقىَ - يُلْقِي), maknanya : melempar. Lafazh bi-aydikum (بِأَيْدِيكُمْ) secara bahasa artinya : dengan tanganmu. Jadi larangannya berbunyi : jangan kamu melempar tanganmu. Sedangkan kata tahlukah (التَّهْلُكَةِ) dimaknai sebagai kebinasaan. Asalnya dari kata halak (هَلَاك).
Namun jelas ini ada bentuk ungkapan sastra semata, karena yang dimaksud tentu saja bukan melempar tangan, tetapi melempar diri sendiri. Ini termasuk salah satu gaya bahasa yang menyebutkan salah satu anggota badan namun maksudnya seluruh badan.
Dalam bahasa Indonesia kita juga mengenal ungkapan batang hidung, seperti dalam kalimat berikut : “Orang itu tidak nampak batang hidungnya”. Tentu maksudnya bukan hanya batang hidungnya yang tidak nampak, tetapi seluruh dirinya. Begitu juga penggalan ayat ini, maksudnya janganlah kamu lemparkan atau ceburkan dirimu ke dalam kebinasaan.
Hanya saja apa yang dimaksud dengan kebinasaan, terkait dengan konteks ayat ini, para ulama ahlli tafsir berbeda pendapat. Namun yang paling banyak dari pandangan para ulama mengatakan bahwa larangan jangan menceburkan diri ke dalam kebinasaan adalah sikap pelit tidak mau berinfaq. Dasarnya karena sebelum penggalan ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk berinfaq (وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ), maka larangan menceburkan diri ke dalam kebinasaan dianggap sebagai ancaman bagi mereka yang enggan berinfaq.
Secara lebih spesifik infaq yang dimaksud tidak lain harta yang disediakan demi untuk bisa ikut dalam jihad secara fisik dalam arti perang. Sekedar informasi bahwa untuk bisa ikut berjihad di masa itu dibutuhkan biaya yang teramat tinggi, lebih tinggi nilainya dari biaya orang berhaji ke Baitullah.
Orang haji tidak perlu membeli senjata, sedangkan orang yang ikut perang wajib punya senjata. Oleh karena itu dia harus menyiapkan dana khusus untuk membeli senjata, seperti pedang, tombak, belati, panah dan perlengkapan perang lainnya, seperti pakaian perang.
Dan yang namanya perang umumnya berlokasi jauh di negeri orang, sehingga mutlak dibutuhkan alat transportasi baik berupa unta atau pun kuda. Kuda yang dimaksud bukan sekedar kuda tunggangan biasa bagaikan kuda sirkus perang, tetapi kuda perang yang punya nasab khusus dan telah melewati pendidikan khusus untuk menjadi kuda perang. Dan harganya jauh berkali lipat dari kuda tunggangan biasa.
Perang biasanya memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Selama ikut perang, setiap peserta wajib membawa perbekalan makanan sendiri-sendiri, maka wajib menyiapkan dana khusus untuk bisa ikut dalam sebuah perang.
Selain itu juga wajib menyiapkan harta khusus sebagai nafkah untuk keluarga, selama ditinggal berbulan-bulan pergi berperang.
Maka secara khusus ada perintah dari Allah SWT untuk berinfaq mengeluarkan harta benda yang sangat besar, demi untuk bisa ikut dalam peperangan.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa Allah SWT menggunakan kata kebinasaan untuk mengancam orang yang tidak mau membiayai jihad?
Al-Mawardi menyebutkan beberapa pendapat terkait hubungan antara kebinasaan dan keengganan berinfaq membiayai perang :
- Kebinasaan didapat karena terkena imbas dosa berlaku kikir tidak mau berinfaq. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Huzaifah.
- Kebinasaan didapat karena pergi berperang tapi tidak membawa perbekalan. Ini adalah pendapat Zaid bin Aslam.
- Kebinasaan didapat karena tidak berjihad di jalan Allah SWT. Ini adalah pendapat Abu Ayyub Al-Anshari.
- Kebinasaan didapat karena putus asa dari mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Ini adalah pendapat Al-Barra’ bin Azib.
Lafazh wa ahsinu (وَأَحْسِنُوا) adalah fi’il amr yang merupakan perintah untuk berbuat baik, sehingga perintah ini diterjemahkan menjadi : “berbuat baiklah”.
Namun perintah untuk berbuat baik itu masih terlalu umum, karena bisa berupa apa saja. Maka kita perlu menegaskan seperti apa makna ihsan itu?
Kata ihsan asalnya dari (أَحْسَنَ – يُحْسِنُ - إِحْسَانًا). Menurut al-Harrali kata ini mengandung arti puncak kebaikan dari suatu amal perbuatan. Namun banyak ulama yang menghubungkan perbuatan ihsan ini dengan berinfaq merelakan harta di jalan Allah. Oleh karena itu orang-orang yang merelakan hartanya disebut dengan muhsinin.
Quraish Shihab mengatakan muhsin itu bukan sekedar orang melakukan perbuatan baik, tetapi lebih dari itu, dia selalu berbuat baik dalam setiap waktunya.
Jawabnya dalam beberapa ayat kita menemukan penyebutan istilah muhsinin (مُحْسِنِيْن) yang maknanya orang-orang yang berderma atau memberi tanpa imbalan. Salah satunya ayat berikut ini :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran : 134)
Banyak juga kalangan yang menyebut bahwa muhsin itu sebutan untuk orang yang banyak memberi kepada orang lain, entah itu berupa harta atau bentuk-bentuk pertolongan yang lain. Sehingga padanan kata yang tepat adalah : dermawan.
Maka dari petikan akhir ayat ini banyak kalangan yang menjadikannya sebagai dalil bahwa orang yang banyak berderma alias muhsin, rejekinya tidak akan pernah berhenti mengalir, karena selalu Allah SWT tambahkan. Dan istilah tambahan disini berarti lebih banyak jumlahnya dari pada sekedar digantikan.
Maksudnya harta yang didermakan di jalan Allah SWT itu tidak berkurang, karena pastinya akan diganti oleh Allah SWT. Bahkan malah penggantiannya melebihi apa yang sudah dikeluarkannya, sehingga diksi yang digunakan adalah ‘menambahkan’, bukan sekedar mengganti.