| ◀ | Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 29 | ▶ |
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Kemenag RI 2019: Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. ) Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.| TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
خَلَقَ لَكُمْ
Lafazh khalaqa bermakna menciptakan yaitu mengadakan sesuatu dari yang asalnya tidak ada menjadi ada (ابتداع شيء لم يسبق إليه). Dan segala sesuatu yang Allah ciptakan itu berarti asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. [1]
Maka ketika Allah SWT dalam ayat ini menyatakan Dia bagi kamu apa yang ada di bumi, maksudnya menjadi isi bumi dari yang asalnya tidak ada menjadi ada. Cukup bagi-Nya mengucapkan kun (jadilah), maka jadilah sesuatu itu.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin : 82)
Meskipun demikian, bagi Allah SWT sah-sah saja ketika menciptakan sesuatu secara tidak langsung tapi melewati berbagai macam proses. Alam semesta, langit dan bumi dan seisinya adalah ciptaan Allah. Namun Allah SWT berkehendak dalam penciptaannya ada proses panjang dari satu waktu ke waktu yang lain. Bukan berarti Allah SWT lemah, namun Allah memang berkehendak demikian.
Maka ketika menciptakan
[1] انظر: "تهذيب اللغة" (خلق) 1/ 1093.
مَا فِي الْأَرْضِ
Lafazh maa fil ardhi (مَا فِي الْأَرْضِ) terdiri dari tiga kata, yaitu maa (ما) yang bermakna apapun, lalu fi (في) yang maknanya yang berada dan al-ardh (الأرض) yang artinya tanah yang kita pijak.
Kalau dikatakan apapun yang ada di bumi telah Allah SWT ciptakan untuk manusia, maka yang paling dasar adalah menjadi bumi ini sebagai tempat tinggal dan area untuk hidup dan beranak pinak. Maka semua yang ada di bumi memang disediakan Allah SWT untuk bisa memenuhi kebutuhan manusia.
Kalau kita uraikan mulai dari tanah dan air, dimana tanah itu dihujani air sehingga tumbuhlah aneka ragam tanaman, yang kemudian menjadi sumber bahan pangan untuk hewan dan manusia. Sementara hewan sendiri pun juga jadi sumber makanan bagi manusia, selain manusia juga memakan tumbuhan.
Maka terciptalah rantai makanan yang menjadi sebuah siklus kehidupan.
Siklus rantai makanan adalah proses alami di alam yang menjelaskan bagaimana makanan dihasilkan dan dikonsumsi oleh organisme yang berbeda dalam suatu ekosistem. Setiap organisme memainkan peran penting dalam siklus ini, yang disebut trofik (atau makanan).
Pada siklus rantai makanan, organisme yang lebih rendah dalam rantai makanan mengkonsumsi organisme yang lebih tinggi dalam rantai makanan. Misalnya, tumbuhan mengkonsumsi nutrien di dalam tanah untuk tumbuh dan berkembang, dan hewan herbivora mengkonsumsi tumbuhan untuk mendapatkan energi. Kemudian, hewan karnivora mengkonsumsi hewan herbivora, dan seterusnya.
Siklus rantai makanan memiliki beberapa tingkatan, yang disebut tingkatan trofik. Tingkatan trofik pertama adalah produsen, yaitu organisme yang menghasilkan makanan sendiri melalui proses fotosintesis atau chemosintesis. Tingkatan trofik kedua adalah konsumen primer, yaitu organisme yang mengkonsumsi produsen. Tingkatan trofik ketiga adalah konsumen sekunder, yaitu organisme yang mengkonsumsi konsumen primer, dan seterusnya.
Siklus rantai makanan juga merupakan bagian dari siklus nutrien di alam, di mana nutrien diangkut dan dikembalikan ke lingkungan melalui proses alami seperti dekomposisi. Ini membantu menjaga keseimbangan nutrisi di ekosistem dan menyediakan sumber makanan yang terus-menerus bagi organisme lain.
ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ
Lafazh istawa (اسْتَوَىٰ) secara bahasa bermakna : tegak atau tetap, juga digunakan untuk sesuatu yang posisinya lebih tinggi atau yang berada di atas sesuatu, sebagaimana ungkapan dalam ayat berikut :
فَإِذَا اسْتَوَيْتَ أَنْتَ وَمَنْ مَعَكَ عَلَى الْفُلْكِ فَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي نَجَّانَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim". (QS. Al-Mukminun : 28)
لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan: "Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, (QS. Az-Zukhruf : 13)
Namun karena posisi istiwa’ ini terkait dengan Allah SWT, maka muncul masalah yang lumayan membingungkan para ulama dan mereka pun tidak bersepakat dalam memaknainya. Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan, dari sekian banyak pandangan yang berbeda-beda itu bisa kita sebutkan tiga pendapat yang paling banyak dirujuk, yaitu :
1. Pendapat Pertama
Pendapat perama merupakan representasi dari kalangan ulama yang cenderung mengatakan bahwa ayat ini termasuk bilangan ayat-ayat mutasyabihat. Untuk itu kita serahkan saja pengertiannya kepada Allah SWT, kita tidak perlu terlalu banyak membahas ayat-ayat semacam ini, karena bisa-bisa terjatuh ke dalam hal yang terlarang. Ungkapannya adalah kita baca ayatnya (نَقْرَؤُهَا), kita imani (نُؤْمِنُ بِهَا) dan tidak kita tafsirkan (وَلاَ نٌفَسِّرُهَا).
Al-Imam Malik rahimahhullah nampaknya termasuk salah satu ulama yang mewakili kelompok ini. Beliau pernah ditanya oleh seorang terkait surat Thaha ayat 5 yaitu : (الرَّحْمنُ عَلى العَرْشِ اسْتَوى). Jawabannya menampakkan ketidak-sukaan pembicaraan semacam itu :
الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَأَرَاكَ رَجُلَ سَوْءٍ! أَخْرِجُوهُ
Istiwa’ itu tidak majhul namun teknisnya tidak mampu akal memahaminya. Sedangkan mengimaninya wajib dan membahasnya adalah tindakan mengada-ada. Aku kira anda seorang yang buruk. Usir dia. [1]
2. Pendapat Kedua
Pendapat kedua punya prinsip kita baca ayat itu dan kita pahami apa adanya sebagaimana makna teksualnya. Misalnya disebutkan bahwa Allah beristiwa’ di atas langit, mereka pun memahaminya bahwa Allah SWT benar-benar duduk di atas langit. Karena memang itulah yang disebutkan dalam ayat Al-Quran secara resmi, tidak ditambah dan tidak dikurangi, seperti aslinya ayat itu turun dalam bahasa Arab.
Pendapat kedua ini pilihan kalangan musyabbih atau mujassim, yaitu mereka yang terjebak pada zhahir teks Al-Quran sehingga meyakini Allah SWT seperti makhluknya, punya tangan, kaki, wajah dan seterusnya.
3. Pendapat Ketiga
Pendapat ketiga adalah kalangan ulama yang menta’wil ayat-ayat itu dengan makna lain di luar makna secara zhhir. Hal itu karena begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang menggunakan ungkapan dengan kandungan metafora yang teramat kental, sehingga mau tidak mau tetap harus ditakwilkan, meski dengan kehati-hatian.
Perbedaan Terjemahan
Sedemikian rumitnya masalah ini, sehingga ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, ternyata kita punya banyak versi terjemahan yang berbeda-beda. Penulis coba bandingkan tiga terjemahan. Pertama, Al-Quran dan Terjemahnya terbitan Kemenag RI edisi revisi tahun 2019 menerjemakannya menjadi : "menuju ke langit". Sementara terjemahan versi Prof, Dr. Quraish Shihab adalah : Dia berkehendak (menciptakan) langit". Beda lagi dengan terjemahan versi Prof Dr. Buya HAMKA, beliau menuliskan bahwa maknanya adalah : "Allah menghadap ke langit".
Sepanjang sejarah umat Islam, tema tentang Allah SWT yang disebut melakukan posisi istiwa' (استواء) selalu menjadi perdebatan sengit yang nyaris seperti tiada akhir, khususnya di kalangan praktisi ilmu akidah atau teologi.
Akar masalahnya terletak pada tabarkan antara dalil-dalil di dalam Al-Quran sendiri. Di satu sisi Allah SWT menegaskan bahwa bahwa diri-Nya tidak bisa disamakan dengan sesuatu, sebagaimana tertuang dalam ayat-ayat berikut :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Diaز (QS. Asy-Syura : 11)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS. Al-Ikhlash : 4)
Dan ayat-ayat lainnya yang pada intinya bahwa Allah SWT tidak boleh diserupakan dengan apapun. Maka sebagian ulama berpegang teguh pada prinsip ini.
Namun di sisi lain, ternyata banyak sekali ayat yang menggambarkan berbagai macam aktifitas Allah yang diserupakan dengan apa yang dilakukan oleh manusia, termasuk juga dalam kaitannya dengan fisik.
Di dalam Al-Quran bertabur ayat yang bisa dijadikan contoh seperti :
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ ۚ
Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (QS. Al-Anfal : 17)
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, (QS. Al-Mulk : 16)
Di kalangan umat Islam sendiri sebenarnya masih ada sedikit beda pendapat. Antara mereka yang cenderung menjawab secara lahiriyah dengan yang menjawab secara penafsiran (takwil).
1. Salafi Wahabi
Menurut kalangan yang sering menyebut diri mereka sebagai Wahabi atua Salafi, keberadaan Allah SWT itu punya tangan dianggap punya tangan yang sesungguhnya dan bukan kiasan. Tetapi tangan-Nya itu tidak sama dengan apa pun. Biasanya yang hujjahnya menggunakan ungkapan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa al-kaifu majhul was-sualu anhu bid'ah. (bagaimana bentu tangannya tidak diketahui, dan bertanya-tanya dengan masalah itu bid'ah).
Saudara-saudara kita Wahabi Salafi itu memang rada anti dengan pentakwilan, dimana kalau ada lafadz dalam teks Al-Quran atau sunnah, maka akan dipahami apa adanya, sebagaimana bunyi teks itu. Pemikiran khas dari tokoh-tokoh mereka semacam Ibnu Taimiyah dan teman-temannya.
Dan posisi mereka yang tidak mau mentakwil inilah yang sering membuat mereka terjebak dengan kekeliruan yaitu melakukan tajsim, yaitu meyakini Allah SWT punya jism (badan) sebagiamana bunyi ayatnya.
2. Pandangan Kalanga Ulama Ahli Sunnah Non-Salafi Wahabi
Lain lagi dengan kebanyakan pendapat para ulama ahliussunnah, yang bukan beraliran salafi wahani, yaitu kalangan mayoritas umat Islam sepanjang zaman. Kadang pemikiran mereka disebut sebagai pemikiran Asy'ari Maturidi. Pandangan mereka masih membolehkan takwil sifat dan keadaan Allah SWT dalam beberapa hal, ketika memang tidak bisa diterima. Misalnya, ketika disebutkan dalam hadits bahwa Allah turun ke langit dunia pada tiap sepertiga malam yang terakhir. Meski hadits itu shahih, tetapi membayangkan Allah SWT turun ke langit dunia seperti yang terbetik di benak kita semua adalah salah satu bentuk kekeliruan, menurut pandangan mereka.
Demikian juga dengan penggunaan kata 'tangan Allah', yang tidak mau dipahami apa adanya, melainkan dianggap merupakan ungkapan majazi yang bisa ditakwil sebagai kekuasaan Allah. Dan majas dalam Al-Quran sah-sah saja, karena memang mendapatkan porsinya.
Dalam hal ini kita harus terima kenyataan ada dua kecenderungan yang berbeda di tengah umat Islam. Tentu saja perbedaan ini tidak terkait dengan kekafiran atau murtad dari agama. Boleh dibilang ini masalah khilafiyah meski masih di area aqidah Islam.
Bagaimana mungkin kita mengkafirkan orang yang mentakwil tangan Allah dengan kekuasaan, sementara sekian banyak para ulama menerima hal ini? Sebagaimana kita tidak perlu mencemooh mereka yang sejak kecil diajarkan untuk menerima konsep adanya tangan Allah yang betulan, meski tidak menyerupakannya dengan sesuatu.
Tuhan di Langit, di Tempat yang Tinggi dan di Arsy
Maka jangan kaget kalau kalangan Salafi Wahabi ketika ditanya dengan Tuhan itu ada di suatu tempat, mereka menjawab dengan ayat Quran juga, tetapi yang masih apa adanya sebagaimana bunyi teksnya. Cuma bedanya bahwa Dia itu laisa kamitslihi syai'un, wa lam yakun lahu kufuwan ahad.
أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
“Tidakkah kamu merasa aman dari Allah yang berada DI LANGIT bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang. Atau apakah merasa aman terhadap Allah yang DI LANGIT bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat) mendustakan peringatan-Ku”. (QS Al-Mulk: 16-17).
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
“Yang Maha Pemurah itu berada DI ATAS ‘ARYS BERSEMAYAM”.(QS Thaha: 5)
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ۗ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi lalu bersemayam DI ATAS ‘ARSY”. (QS. Al-A‘raf: 54).
Juga ada sabda utusan resmi dari tuhan, nabi Muhammad SAW tentang keberadaan Allah SWT.
ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء
Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Kasihanilah yang bumi maka kamu akan dikasihani oleh Yang DI LANGIT”. (HR. Tirmiziy).
Dan dalil yang menyebutkan bahwa Allah ada di langit, Arsy atau di tempat yang tinggi itu sangat banyak sekali dalam Al-Quran maupun Al-Hadits.
Benarkah Allah Ada Dimana-mana?
Adapun tentang bahwa Allah SWT itu ada di mana-mana, ada kalangan yang berhujjah dengan ayat berikut ini :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4)
Kata ma'a inilah yang kemudian dianggap menunjukkan tempat seseorang berada. Seolah-olah tuhan itu ada dimana-mana. Walaupun ada sebagian kalangan yang kurang menerima hal itu dengan dengan mengatakan bahwa aku menyertaimu, meski pada kenyataannya tidak berduaan. Sebab kebersamaan Allah SWT dalam ayat ini adalah berbentuk muraqabah atau pengawasan.
Seperti ketika Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar ra di dalam gua,"Jangan kamu sedih, Allah beserta kita." Ini tidak berarti Allah SWT ikut masuk gua. Juga ketika Musa as berkata, "Bersamaku tuhanku," tidak berarti Allah SWT ada di pinggir laut merah saat itu.
Jikalau kamu tidak menolongnya maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengeluarkannya sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (QS At-Taubah: 40)
Musa menjawab, "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (QS As-Syu'ara: 62).
Kesimpulannya, masalah Allah SWT ada dimana ini juga termasuk masalah yang agak berbau khilafiyah. Sebagian kalangan ada yang secara tegas menolak keberadaan Allah secara fisik, karena Dia tidak menempati ruang. Sebagian lagi tetap menggunakan istilah 'Allah ada dimana-mana' dalam arti pengawasannya.
[1] Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, jilid 1 hal. 254
إِلَى السَّمَاءِ
Lafazh as-sama' (السماء) secara umum dan mudahnya dimakna sebagai : langit. Namun sebenarnya langit itu sendiri bisa bermacam-macam.
فَسَوَّاهُنَّ
Lafazh fasawwahunna (فسواهن) terdiri dari beberapa partikel, yaitu huruf fa' (ف) lyang dimaknai sebagai : maka. Lalu fi'il madhi sawwa (سوى) dimaknai menjadi : 'menyempurnakan'. Dan diakhiri dengan maf'ul bihi yaitu dhamir hunna (هُنَّ) yang maksudnya dalam hal ini adalah : langit.
Kalau kita lakukan pencarian dalam seluruh ayat Al-Quran kata sawwa (سوَّى) ini pun muncul beberapa kali di dalam Al-Quran dengan makna yang sama yaitu menyempurnakan. Yang pertama terkait penyempurnaan janin di dalam perut ibunya yang penciptaannya mengalami pengempurnaan.
ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, (QS. Al-Qiyamah : 38)
Sedangkan yang kedua tidak disebutkan objeknya, hanya disebutkan bahwa Allah SWT mencipta lalu Dia sempurnakan ciptaan-Nya.
الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ
yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (QS. Al-Ala : 2)
Yang jadi pertanyaan, kenapa Allah SWT yang Maha Pencipta itu perlu dua langkah yaitu mencipta dulu baru kemudian menyempurnakan? Kenapa Allah SWT tidak langsung saja menciptakan sesuatu yang langsung sempurna? Bukankah hal itu mudah bagi Allah SWT?
Tentu saja yang paling berhak menjawab adalah Allah SWT langsung, sedangkan kita hanya sekedar menduga-duga saja. Di antara dugaan yang banyak disebut-sebut para ulama adalah boleh jadi Allah SWT ingin mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu harus ada prosesnya, tidak langsung jadi sempurna.
Bahkan Allah SWT sendiri juga memberi contoh kepada kita bahwa dalam berkarya itu perlu ada proses dan tidak mungkin langsung jadi. Dan kata kuncinya adalah : proses.
Allah SWT Mencipta Lewat Proses
Dalam kenyataannya banyak sekali dijelaskan dalam Al-Quran bahwa Allah SWT dalam mencipta sesuatu dengan proses, bukan hanya dalam menciptakan manusia atau alam semesta, tetapi bahkan turunnya Al-Quran pun juga lewat proses panjang selama 23 tahun lamanya.
Begitu juga dalam penetapan syariah, ternyata selama 23 tahun itu ada proses yang tidak sekali jadi. Misalnya, di awal Nabi SAW diperintahkan shalat menghadap ke Baitul Maqdis, setelah itu diperintah untuk memindahkan ke arah Masjid Al-Haram di Mekkah. Awalnya perintah shalat itu belum lagi lima waktu dalam sehari semalam, tetapi hanya shalat malam saja, lalu kemudian setelah peristiwa mi'raj ditetapkanlah kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam.
Maka kalau pun dalam menciptakan langit Allah SWT melakukannya lewat proses, tentu sama sekali tidak mengurangi kehebatan Allah sebagai Sang Maha Kuasa dan Sang Maha Pencipta.
Penyempurnaan Penciptaan Langit
سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
Mana Lebih Dulu Diciptakan : Langit Atau Bumi?
Kalau kita membaca ayat ini secara parsial, logika kita akan mengatakan bahwa penciptaan langit itu belakangan dari pada penciptaan bumi. Namun apakah benar demikian adanya?
Ternyata kita menemukan di ayat lain justru disebutkan bahwa langit itu diciptakan terlebih dahulu, barulah bumi diciptakan kemudian. Salah satunya seperti yang tertuang dalam surat An-Naziat berikut ini :
وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَاهَا
Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. (QS. An-Naziat : 30)
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi. (QS. Al-Anam : 1)
Disitu para ulama berbeda pendapat karena adanya kontradiksi dalam memahami ayat-ayat yang sekilas saling berbeda.
Benarkah Langit Ada Tujuh Buah?
Penyebutan langit ada tujuh selalu terulang-ulang di dalam Al-Quran hingga berkali-kali. Mulai dari surat Al-Baqarah hingga juz ke-30 atau Juz Amma.
فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 29)
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. (QS. Al-Isra : 44)
Tentu saja kita di masa sekarang ini kelabakan bagaimana kita menjelakan langit yang katanya ada tujuh itu. Langit yang manakah maksudnya?
Apakah lapisan-lapisan atmosfir itu kah? Tapi jumlah lapisannya bukan tujuh tapi hanya enam saja, yaitu lapisan Troposfer, Stratosfer, Mesosfer, Termosfer, Ionosfer, dan terakhir lapisan Eksosfer. Kalau kita pakai pembagian ini, maka angkasa luar sama sekali justru tidak termasuk langit.
Lapisan-lapisan Atmosfer Kah?
Kalau bukan langit, lalu apa jadinya? Padahal banyak sekali ayat yang menyebutkan bahwa luar angkasa itu juga disebut dengan langit. Misalnya ketika Allah SWT menghias langit dengan bintang.
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, (QS. Ash-Shaffat : 6)
Tempat dimana ada bintang-bintang itu jelas bukan di salah satu atmosfir yang ada enam itu. Tapi letaknya jauh sekali di luar angkasa lepas.
Kawakib itu bentuk jama’ dari kaukab (كوكب) yang dalam bahasa Arab sebenarnya beda dengan bintang. Kaukab itu planet sedangkan bintang itu nujum.
Jarak planet terdekat dari bumi adalah Venus yang diperkirakan jaraknya sekitar 0,28 AU ketika berada di titik terdekatnya. Sedangkan jarak terjauh yang bisa dihasilkan keduanya adalah 1,72 AU, hampir dua kali jarak Bumi dengan Matahari. Memang nanti ada juga ilmuwan yang menyebutkan bahwa planet terdekat dengan bumi bukan Venus melainkan Merkurius. Namun lepas dari perbedaan itu, tetap saja baik Venus atau pun Merkurius posisinya bukan di salah satu atmosfir kita.
Lalu kalau tujuh langit itu bukan lapisan-lapisan yang merupakan atmosfir kita, apa makna tujuh langit itu? Apakah kita mau sebut planet-planet yang ada di sekitaran keluarga tata surya atau solar system?
Tentu tidak cocok juga. Pertama, jumlah planet anggota tata surya bukan tujuh tapi delapan. Kedua, kalau planet-planet itu kita paksa sebagai penjelasan tentang tujuh langit, lalu bagaimana dengan awan hujan yang mengandung air itu? Apakah jadi bukan termasuk salah satu dari langit? Padahal tegas sekali Al-Quran menyebut bahwa hujan diturunkan dari langit.
وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. (QS. Al-Baqarah : 22)
Maka tafsiran tujuh lapis langit itu akan lebih selamat apabila maksudnya bukan angka tujuh, tetapi ungkapan majaz untuk menggambarkan luasnya langit. Seperti kita menyebut ungkapan tujuh samudera, padahal faktanya jumlah samudera bukan tujuh.
Tujuh samudera adalah ungkapan yang digunakan untuk menyatakan banyaknya sesuatu yang tidak terhitung jumlahnya atau yang tidak terbatas. Arti kata "samudera" sendiri adalah lautan besar atau laut lepas. Dalam konteks ini, ungkapan "tujuh samudera" tidak mengacu pada adanya tujuh lautan besar atau laut lepas di dunia.
Di dunia ini, terdapat lebih dari tujuh lautan besar atau laut lepas. Berikut ini adalah semua lautan besar atau laut lepas di dunia yang diurutkan dari yang paling luas:
Laut Pasifik: Laut ini terletak di sebelah barat benua Amerika, Asia, dan Australia. Laut Pasifik merupakan laut terluas di dunia, dengan luas sekitar 168,7 juta km².
Laut Atlantik: Laut ini terletak di sebelah barat benua Amerika dan Eropa, serta di sebelah timur benua Afrika. Laut Atlantik memiliki luas sekitar 106,4 juta km².
Laut Artik: Laut ini terletak di sebelah utara benua Amerika dan Eropa, serta di sebelah selatan Samudera Utara. Laut Artik memiliki luas sekitar 14,1 juta km².
Laut India: Laut ini terletak di sebelah barat benua Asia dan di sebelah timur benua Afrika. Laut India memiliki luas sekitar 73,4 juta km².
Laut Tengah: Laut ini terletak di antara benua Asia dan Australia. Laut Tengah memiliki luas sekitar 74,7 juta km².
Laut Timur: Laut ini terletak di sebelah timur benua Asia. Laut Timur memiliki luas sekitar 73,9 juta km².
Laut Antartika: Laut ini terletak di sekitar Kutub Selatan dan di sekitar benua Antartika. Laut Antartika memiliki luas sekitar 20,3 juta km².
Laut Cina Selatan: Laut ini terletak di sebelah timur benua Asia, di antara benua Asia dan Australia. Laut Cina Selatan memiliki luas sekitar 3,5 juta km².
Laut Mediterania: Laut ini terletak di sebelah barat benua Asia, di antara benua Asia dan Eropa. Laut Mediterania memiliki luas sekitar 2,9 juta km².
Laut Karibia: Laut ini terletak di sebelah barat benua Amerika, di antara benua Amerika dan benua Asia. Laut Karibia memiliki luas sekitar 2,7 juta km².
Dengan demikian ketika Al-Quran menyebut ungkapan tujuh lapis langit, kita tidak perlu pusing sendiri mencarikan nama-nama dari masing-masing langit yang tujuh buah itu. Toh tidak akan cocok juga, jadi tidak perlu dibikin repot untuk hal-hal semacam itu.
Begitu juga ketika Al-Quran juga menyebut tujuh lapis bumi, kurang lebih sama juga kasusnya, maksudnya tentu bukan lapisan-lapisan tanah. Jadi kita tidak perlu kebakaran jenggot memikirkan nama-nama lapisan bumi itu.
Lagi pula sama sekali tidak ada isyarat dari Nabi SAW agar kita mencocok-cocokkan semua itu lewat penjelasan sains modern.
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu, karena segala sesuatu itu memang ciptaan-Nya. Maka hanya pencipta saja yang paling tahu ilmu terkait apa yang diciptakannya.
Pencipta Paling Mengerti
Fenomena ini bisa kita analogikan seperti mobil dan pabrikannya, dimana mobil yang kita beli butuh perawatan rutin serta kadang juga perlu perbaikan tertentu bila ada kerusakan. Maka bengkel yang paling tepat adalah bengkel resmi yang memang milik pabrikan pembuat mobil itu.
Bila bengkel yang kita pilih bukan bengkel resmi, tentu saja tidak akan terlayani dengan baik, karena mobil zaman sekarang sudah semakin unik dan kompleks, tidak bisa ditangani oleh sembarang bengkel tapi harus bengkel khusus yang memang bagian dari pabrikan.
Begitu juga produk-produk dan barang elektronik lainnya, baik itu gadget, jam, TV, kulkas, AC, hingga berbagai peralatan lainnya, hanya pabriknya saja yang paling tepat untuk menanganinya bila ada hal-hal yang perlu diperbaiki. Termasuk juga yang melayani jaminan after sales.
Di sisi lain kadang ada pujangga atau penulis lagu yang menulis liriknya dengan sebegitu indahnya, sehingga banyak pengagumnya. Seringkali liriknya begitu indah meskipun juga sangat abstrak, sehingga banyak lah pihak yang berusaha untuk menebak-nebak apa yang dimaksud oleh penulis lagu di balik lirik lagunya. Dan boleh jadi masing-masing pihak tidak sama pandangannya dan saling bertengkar.
Namun pada akhirnya yang paling tahu semuanya pastilah pencipta lagu itu sendiri, karena memang dia lah yang membuat lirik lagu itu.
Luasnya Ilmu Allah
Di sisi lain, luasnya pengetahuan Allah SWT itu digambarkan dalam bentuk tulisan yang akan menghabiskan seluruh air laut di dunia sebagai tintanya dan seluruh pohon sebagai penanya.
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman : 27)
Dan ada juga ayat lainnya yang senada :
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS. Al-Kahfi : 109)
Dua Metode Transfer Ilmu
Satu hal yang penting diketahui bahwa meskipun Allah SWT itu sangat luas ilmunya, namun tidak semua ilmu itu diberikan begitu saja kepada manusia. Ada ilmu yang memang ditransfer secara langsung, yaitu dalam bentuk wahyu samawi lewat jalur para nabi dan rasul utusan Allah. Itulah ilmu agama yang sifatnya indoktrinasi.
Namun lebih banyak lagi ilmu yang Allah perintahkan manusia untuk mendapatkannya lewat berbagai pengamatan dan analisa yang terus menerus dan lama-kelamaan menjadi ilmu yang besar dan berhasil memecah banyak misteri di kemudian hari. Itulah ilmu sains dan teknologi yang tidak diberikan lewat jalur wahyu.
Pernah para shahabat ingin minta dijelaskan bagaimana bulan di gelap malam bisa berubah-ubah bentuk sesuai dengna usianya, kadang bulan sabit tapi kadang jadi purnama. Ternyata Allah SWT tidak pernah menjawabnya lewat Al-Quran. Kalau pun ada jawaban dari Allah SWT malah dialihkan kepada masalah lain.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; (QS. Al-Baqarah : 189)
Oleh karena itu maka kemajuan ilmu pengetahuan tidak selalu berada di tangan umat beriman, kadang justru berada di tangan kalangan kafir yang tidak beriman. Namun karena mereka terus menerus melakukan penelitan dan analisa, maka secara sunnatullah, mereka pun mendapatkan ilmu dari Allah SWT.
Jadi ilmu itu ibarat rejeki, siapa yang giat bekerja mencari rejeki, tentu Allah SWT berikan, tidak perdulu apakah dia beriman atau tidak beriman. Sebaliknya mereka yang malah tidak mau cari rejeki dan kerjanya hanya ibadah saja, tentu saja tidak akan diberi rekeji sebagaimana mereka yang memang berusaha keras mencari rejeki.