Kemenag RI 2019:Seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Seandainya mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka, sungguh itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). Prof. Quraish Shihab:Dan sesungguhnya jika Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), “Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya jika mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka. Prof. HAMKA:Dan kalau kiranya Kami wajibkan atas mereka, supaya “bunuhlah diri kamu, atau keluarlah kamu dari kampung-kampung kamu,” tidaklah akan mereka lakukan, kecuali sedikit saja dari mereka. Dan kalau mereka mengerjakan apa yang diajarkan kepada mereka, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat.
Ada perbedaan pendapat terkait dengan sebab turunnya ayat ke-66 ini. Pendapat yang paling utama di kalangan ahli tafsir, bahwa ayat ini masih terkait dengan tema tentang perilaku orang-orang munafik.
Dasarnya karena kecocokan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya, dimana tema utamanya masih belum bergeser, masih seputar tema bagaimana keburukan orang-orang munafik yang sangat merepotkan Nabi SAW. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam[1] dan juga Al-Biqai dalam tafsir Nuzhum Ad-Durar fi Tanasubi Al-Ayah wa As-Suwar.[2]
Namun ada juga versi lain yang agak berbeda. Al-Qurtubi dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran[3] latar belakang turun ayat yang berbeda. Disebutkan bahwa seorang muslim bernama Tsabit bin Qais bin Syammas terlibat perdebatan dengan seorang Yahudi, mereka saling membanggakan agama masing-masing. Orang Yahudi itu berkata :
Demi Allah, telah diwajibkan atas kami untuk membunuh diri kami, dan kami melakukannya. Jumlah yang terbunuh mencapai tujuh puluh ribu orang.
Maksudnya di Yahudi ingin menekankan bahwa agama mereka lebih unggul, sebab meskipun Allah SWT perintahkan mereka bunuh diri, ternyata semua taat melaksanakannya. Mendengar hal itu Tsabit pun menjawab bahwa dalam Islam tidak ada perintah untuk bunuh diri. Tetapi seandainya diperintahkan, pastilah dikerjakan juga.
Demi Allah, jika Allah mewajibkan atas kami untuk membunuh diri kami, niscaya kami akan melakukannya.
Namun Al-Qurtubi juga mengutip kisah lain terkait turunnya ayat ini yaitu apa yang dikatakan oleh Abu Ishaq as-Sabi'i. Menurutnya bahwa ketika turun ayat ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata :
Sesungguhnya di antara umatku ada orang-orang yang keimanan mereka lebih kokoh di hati mereka daripada gunung-gunung yang menjulang.
Versi lain menyebutkan bahwa orang tersebut adalah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhuma. Abu Laits as-Samarqandi menyebutkan bahwa orang-orang yang mengatakan hal tersebut di antaranya adalah Ammar bin Yasir, Ibnu Mas'ud, dan Tsabit bin Qais. Mereka berkata,
Seandainya Allah memerintahkan kami untuk membunuh diri kami atau meninggalkan rumah-rumah kami, niscaya kami akan melakukannya.
Maka Nabi SAW bersabda:
الإيمانُ أثْبَتُ في قُلُوبِ الرِّجاَلِ مِنَ الجِبالِ الرَّواسِي
Keimanan itu lebih kokoh di hati orang-orang daripada gunung-gunung yang menjulang.
Penulis sendiri lebih cenderung pada pendapat awal, yaitu bahwa ayat ke-66 masih sangat erat kaitannya dengan orang-orang munafik. Maka penjelasan tafsir ayat ini selalu terkait dengan perilaku orang-orang munafik.
Lafazh walau (وَلَوْ) artinya : jika atau seandainya. Kata anna katabna (أَنَّا كَتَبْنَا) artinya : Kami mewajibkan. Kata ‘alaihim (عَلَيْهِمْ) artinya : kepada mereka. Yang dimaksud dengan mereka disini kalau menurut kebanyakan ahli tafsir tentunya orang-orang munafikin Madinah.
Dasarnya karena ayat ini memang masih sambungan dari ayat-ayat sebelumnya, yang sedang bicara tentang orang-orang munafik di masa kenabian. Setidaknya itulah pendapat Ibnu Abbas yang banyak didukung oleh banyak ulama lain.
Walaupun ada juga pihak yang keberatan kalau dikatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang munafik. Alasannya bahwa perintah untuk membunuh diri sendiri tidak dikenal dalam tradisi kehidupan orang-orang munafik. Tradisi untuk bunuh diri dalam rangka bertaubat itu adanya di tengah Bani Israil. Sehingga masuk akal kalau ada yang mengaitkan ayat ini dengan orang-orang Yahudi.
Namun tidak mengapa bila ayat ini dikaitkan dengan orang munafik, karena kalimatnya hanya pengandaian saja, tidak benar-benar merupakan perintah untuk bunuh diri buat orang-orang munafik. Hanya saja kalau kita ingat, kezaliman orang munafik dalam kasus ini sebagaimana sudah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya adalah karena mereka enggan berhukum kepada Nabi SAW dan lebih memilih berhukum kepada tokoh Yahudi bernama Bisyr atau Ka’ab bin Al-Asyraf.
Dan nampaknya Allah SWT ingin mematahkan argumentasi mereka untuk berhukum dengan pemimpin Yahudi. Kalau pun mereka diperintahkan untuk menjalankan syariat khas milik yahudi, pastilah mereka tidak akan mau melakukannya. Sebab pada dasarnya orang munafik itu memang hanya cari gara-gara saja.
Lafazh aniqtulu (أَنِ اقْتُلُوا) terdiri dari dua unsur, yaitu huruf an (أن) yang bermakna : agar atau untuk. Berikutnya adalah kata kerja dalam bentuk fi’il amr yaitu uqtulu (اقْتُلُوا) yang maknanya : bunuhlah. Kata anfusakum (أَنْفُسَكُمْ) artinya : diri-diri kalian sendiri.
Perintah Allkah kepada manusia untuk bunuh diri alias membunuh diri sendiri sebenarnya memang cukup aneh bagi kita. Dalam syariat kita, bunuh diri itu termasuk tindakan yang haram dan dosa besar. Ada begitu banyak dalil yang mengharamkannya, antara lain :
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah : 195)
Selain Al-Quran, juga ada banyak hadits Nabawi yang mengharamkan tindakan membunuh diri sendiri.
Orang yang menjatuhkan dirinya dari atas gunung, berarti dia melempar dirinya masuk ke dalam neraka jahanam, kekal untuk selama-lamanya. (HR. Bukhari)
Namun khusus untuk Bani Israil di masa lalu, ternyata syariat bunuh diri itu memang ada, bentuknya berupa hukuman bagi mereka yang melakukan kesalahan tertentu, seperti syirik menyembah berhala. Kalau kita membaca surat Al-Baqarah ayat 54, maka kita akan temukan perintah itu berlaku buat Bani Israil yang terlanjur menyembah patung anak sapi yang terbuat dari emas.
(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahan). Oleh karena itu, bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu. Itu lebih baik bagimu dalam pandangan Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu. (QS. Al-Baqarah : 54)
Pertanyaannya : bagaimana mungkin mati bunuh diri dianggap lebih baik kedudukannya di sisi Allah? Bukankah bunuh diri itu sebuah larangan dan kekeliruan yang harus dijauhi?
Ada banyak jawabannya yang dikemukakan para ulama, antara lain sebagai berikut :
Pertama, bahwa syariat yang berlaku pada setiap umat pastinya beda-beda. Apa yang diharamkan di satu umat, bisa saja menjadi boleh bahkan wajib di umat yang lain.
Kedua, perintah untuk membunuh diri pada dasarnya sama saja dengan hukuman mati yang ada di semua jenis agama dan peradaban. Perbedaannya hanya siapa yang melakukan eksekusinya. Dan untuk kasus ini para mufassir ramai-ramai mengatakan bahwa perintah bunuh diri itu hanya ungkapan saja, karena yang melakukan eksekusi tetap orang lain dan bukan diri sendiri. Setidaknya mereka saling membunuh nyawa temannya.
Ketiga, bahwa meskipun mereka mati namun pada dasarnya bukan mati sia-sia, karena dianggap atau disetarakan dengan mati syahid yang mendapatkan jaminan masuk surga. Karena bunuh diri itu dalam rangka menebus dosa, maka yang mati berarti dosanya sudah diampuni.
Keempat, meskipun perintah untuk membunuh diri itu berlaku pada Bani Israil yang sempat menyembah patung anak sapi, namun dalam kenyataannya Allah SWT menghentikan perintahnya ketika jumlah korbannya sudah mencapai 70 ribu orang.
Al-Mawardi dalam tafsir An-Nukat wa Al-‘Uyun[1] mengutip pendapat dari Ibnu Abbas, Said bin Jubair dan Mujahid. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perintah untuk membunuh diri mereka sendiri sebenarnya bukan perintah untuk bunuh diri, melainkan maksudnya kepada mereka diterapkan hukuman mati, yang dilakukan oleh sesama mereka sendiri.
Teknisnya mereka yang menyembah anak sapi duduk sambil merapatkan lutut, sementara orang-orang yang tidak menyembahnya berdiri, lalu mereka mengambil belati. Kemudian kegelapan menyelimuti mereka, sehingga sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain, hingga kegelapan itu hilang dan jumlah korban mencapai tujuh puluh ribu orang dalam satu jam pada siang hari.
'Janganlah engkau bersedih. Adapun mereka yang terbunuh di antara kalian, mereka hidup di sisi-Ku dan diberi rezeki. Sedangkan yang masih hidup, tobat mereka telah diterima.'
Maka Musa menyampaikan kabar gembira tersebut kepada Bani Israil.
Kata au (أَوِ) artinya : atau, maksudnya sebagai opsi kedua, kalau pun tidak mau melakukan perintah Allah SWT untuk bunuh diri, maka yang sedikit lebih ringan pun belum tentu mereka mau juga.
Kata ukhruju () adalah kata kerja berupa fi’il amr yang mengandung perintah. Asalnya dari (خَرَجَ - يَخْرُجُ) yang maknanya : keluar. Maka kata ini berarti : keluarlah. Kata min (مِنْ) artinya : dari. Kata diyarikum (دِيَارِكُمْ) merupakan bentuk jamak dari bentuk tunggalnya yaitu daar (دار) artinya : dari rumah-rumah kalian.
Sebagian ulama tafsir ada yang menafsirkan perintah untuk keluar dari negerimu itu maksudnya adalah perintah untuk berhijrah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para muhajirin dari Mekkah.
Mereka adalah orang-orang yang sangat taat kepada Nabi SAW, sampai rela meninggalkan kampung halaman, termasuk juga ladang bisnis yang sangat menguntungkan di Mekkah. Sebagian dari mereka malah ada yang rela meninggalkan istri dan anak-anak, atau meninggalkan orang tua, saudara, keluarga hingga teman-teman dekat. Semua itu mereka lakukan semata-mata karena mereka taat kepada Nabi SAW untuk berhijrah.
Pembandingnya adalah apa yang dahulu pernah dilakukan oleh umat Nabi Musa ‘alahisssalam. Dalam konteks Bani Israil di masa kenabian Musa, budak-budak Yahudi itu pernah diperintahkan oleh Allah SWT untuk berhijrah pergi meninggalkan negeri Mesir. Sebab sudah ratusan tahun lamanya mereka mengalami penindasan oleh Fir’aun. Perintahnya adalah agar mereka segera meninggalkan negeri Mesir. Hal itu sebagaimana tercantum dalam Al-Quran bahwa Allah memerintahkan Musa membawa Bani Israil keluar dari Mesir.
Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, 'Pergilah kamu bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut. (QS. Thaha : 77)
Perintah untuk pergi meninggalkan rumah dan kampung halaman itu pernah dilakukan oleh orang Yahudi dan juga para shahabat yang mulia. Mereka taat kepada nabi mereka sendiri, apapun resikonya.
Sedangkan orang-orang munafik ini sudah Allah SWT beberkan mental mereka, yaitu mereka tidak akan mau kalau diperintahkan oleh Nabi SAW hal-hal yang sekiranya berat bagi mereka. Kalau bersalah dan berdosa besar, mana mau mereka menerima hukuman, apalagi hukumannya harus sampai dibunuh.
Kalau hidup mereka sempit dan diperintahkan untuk berjuang pergi meninggalkan kampung halaman, mana mau mereka melakukannya. Walaupun semua itu sebenarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Maka satu hal yang patut dicatat dari mental-mental para munafikin adalah : mereka tidak mau diperintah oleh Nabi SAW dan juga oleh Allah SWT. Sebab ke-islam-an mereka sebenarnya hanya pura-pura. Orang yang beragama secara pura-pura, sudah pasti tidak akan mau berjuang ambil resiko.
مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ
Kata maa fa’alu-hu (مَا فَعَلُوهُ) artinya : pastilah tidak akan mereka kerjakan.
Penggalan ini menegaskan keengganan mereka dari menjalankan apa yang telah Allah SWT perintahkan kepada mereka. Walaupun mereka bilang mau tertahkim kepada pemimpin Yahudi dan tidak mau bertahkim kepada Nabi SAW, Allah SWT memastikan bahwa mereka sudah pasti tidak akan taat juga terhadap perintah dari pihak Yahudi.
Sebab orang-orang munafik itu adalah orang yang punya masalah mental. Mereka maunya hidup enak tanpa pernah mau berjuang. Diperintah untuk mentaati keputusan Nabi SAW, mereka malah memilih taat kepada pihak lain. Padahal sebenarnya mereka pun tidak taat juga kepada pihak lain itu.
Kata illa (إِلَّا) artinya : kecuali. Kata qalilun (قَلِيلٌ) artinya : sedikit. Kata minhum (مِنْهُمْ) artinya : dari mereka.
Ini adalah bentuk pengecualian yang Allah SWT jelaskan. Apa yang bisa kita pahami bahwa memang tidak semua orang munafik seperti itu. Sebagian kecil dari mereka ada yang juga yang menjadi pengecualian. Tidak jumlahnya tidak seberapa, sehingga seperti tidak ada pengaruhnya sama sekali.
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ
Kata wa lau annahum (وَلَوْ أَنَّهُمْ) artinya : dan sungguhpun jika mereka. Kata fa’alu (فَعَلُوا) artinya : mereka mengerjakan. Kata maa yu’azhuna (مَا يُوعَظُونَ) artinya : apa yang dinasehatkan kepada mereka. Kata bihi (بِهِ) artinya : dengan itu.
Terjemahan Kemenag RI 2019 sudah cukup bagus dan jelas sekali menerangkan makna ayat ini, yaitu :
Seandainya mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka.
Penggalan ini merupakan harapan dan himbauan dari Allah, sekaligus juga ekspresi menyayangkan tindakan yang diambil oleh kalangan munafikin. Seharusnya mereka banyak mengambil pelajaran, nasehat serta saran yang baik.
Bukannya malah banyak lagak, cari-cari pembelaan diri sambil juga mencari kambing hitam pihak lain untuk bisa disalahkan. Namun memang begitulah karakteristik orang-orang munafik. Kualitas keimanan mereka itu sangat rentan dan rapuh. Mereka adalah tipikal orang yang tidak mau bersusah-susah dalam menjalankan agama.
لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
Kata la kaana khairan (لَكَانَ خَيْرًا) artinya : pastilah akan lebih baik. Kata lahum (لَهُمْ) artinya : bagi mereka. Kata wa asyadda (وَأَشَدَّ) artinya : lebih kuat. Kata tatsbita (تَثْبِيتًا) artinya : kekokohan. Maksudnya kekokohan dalam hal keimanan mereka.
Kemenag RI dan Prof. Quraish Shihab sepakat menerjemahkan penggalan ini menjadi : “sungguh itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka”.
Memang permasalahan mendasar bagi orang munafik adalah keimanan mereka yang tidak kuat. Makanya penggalan yang jadi penutup ayat ini menekankan sesuatu yang terkait dengan lebih menguatkan iman mereka.
Sedangkan versi terjemahan Buya HAMKA sedikit berbeda menjadi : “niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat”. Lebih tepat dalam menentukan sikap dan berpihak. Sebab selama ini orang munafik itu tidak jelas posisinya, antara berpihak kepada Islam atau kepada pihak lain. Memang masalah utama dari mentalitas kaum munafikin adalah ketidak-jelasan keberpihakan mereka.