Kemenag RI 2019:Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini, ) sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!” ) Prof. Quraish Shihab:Dan Kami berfirman: “Wahai Adam! Diamilah olehmu dan istrimu surga lini: dan m.ikanlah darinya yang banyak, lagi baik, di mana dan kapan saja kamu betdua kehendaki, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, sehingga menyebabkan kamu berdua termasuk orang-orang zalim. Prof. HAMKA:Dan berfirman Kami, "Wahai, Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di taman ini, dan makanlah berdua daripadanya dengan senang sesuka-sukamu berdua, dan janganlah kedua kamu mendekat ke pohon ini, karena (kalau mendekat) akan jadilah kamu berdua dari orang yang aniaya.
Ibnu Asyur mengomentari awal ayat ini bahwa Allah SWT memanggil nama Adam di depan semua makhluk-Nya dengan panggilan : "Wahai Adam", merupakan bentuk penghormatan yang teramat tinggi.
Apalagi kemudian sapaan Allah itu diteruskan dengan perintah untuk masuk ke dalam surga. Dan perintah ini pastinya didengar oleh semua makhluk yang ada.
Selain itu perintah untuk masuk surga juga merupakan bentuk penghargaan yang tinggi bagi yang punya ilmu. Pesan moralnya bahwa orang yang berilmu tidak sama dengan yang tidak punya ilmu, setidaknya diangkat beberapa derajat kedudukannya.
Dan dimasukkannya Nabi Adam ke dalam surga adalah salah satu bentuk penghargaan Allah SWT kepada orang yang berilmu.
Sebagaimana perintah Allah SWT kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam, juga merupakan bentuk penghargaan kepada orang yang berilmu.
اسْكُنْ أَنْتَ
Lafazh uskun (اسكن) adalah fi'il amr yang merupakan perintah dari kata asalnya yaitu (سَكَنَ - يَسْكُنُ).
Ada dua makna yang berbeda yang bisa ditampung oleh kata ini.
1. Makna Pertama
Sukun itu bermakna diam tidak bergerak.
Konon dalam bahasa Arab pisau itu disebut dengan sikkin (سِكِّيْن) karena membuat hewan menjadi diam tidak bisa bergerak karena disembelih dengan pisau.
Begitu juga orang yang tidak punya harta disebut dengan miskin (مِسْكِيْن) karena tidak bisa bebas bergerak karena tidak punya apa-apa.
2. Makna Kedua
Sukun juga bisa bermakna menetap atau bertempat tinggal.
WaNamun dalam ini yang dimaksud bukan perintah untuk diam tidak bergerak, melainkan perintah untuk menetap dan bertempat tinggal. Sebagaimana disebutkan dalam ayat lain :
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ´Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS. At-Taubah : 72)
Maka perintah uskun disini bisa diterjemahkan menjadi : bertempat tinggal lah kamu. Dalam terjemah versi Kemenag 2019 diterjemahkan menjadi : tinggallah. Sedangkan terjemahan versi Quraish Shihab adalah : diamilah.
Lafazh anta (أنت) adalah kata ganti orang kedua, yaitu pihak yang diajak berbicara, Nabi Adam. Sebenarnya dalam bahasa Arab, fi'il amr uskun (اسكن) sudah mengandung makna siapa yang diperintah, yaitu kamu. Sehingga seharusnya tanpa disebutkan : 'kamu' lagi, sudah cukup.
Namun Allah SWT tetapi mengulangi kata anta sebagai bentuk ta'kid atau penguatan, karena perintah itu juga diarahkan kepada istri Adam yaitu Hawa, sehingga diperlukan penyambung yaitu huruf waw (و) sekaligus ma'tuf ilahi pun harus dinampakkan. Maka muncullah kata : anta, agar maknanya selaras ;"Tinggallah kamu dan istrimu".
* * *
Menarik untuk disimak dalam hal ini penjelasan dari Al-Qurtubi terkait pilihan diksi yang digunakan, yaitu uskun yang asalnya dari kata (سَكَن). Menurutnya sakana itu bermakna sekedar bertempat tinggal atau menempati suatu tempat, namun harus dicatat bahwa yang namanya menempati itu tidak sama dengan memiliki tempat itu.
Ada pihak lain yang justru menjadi pemiliknya, sehingga kalau pemilik tempat itu berkenan, silahkan ditempati. Namun bila pemiliknya memerintahkan untuk keluar, harus keluar dari tempat itu. Dalam hal ini yang menjadi pemilik dari surga itu adalah Allah SWT. Saat itu Allah SWT berkenan memberikan kesempatan kepada Adam dan istrinya untuk menempati surga. Namun bisa saja sewaktu-waktu Allah SWT memintanya untuk keluar dari surga.
Sehingga dalam bab fiqih para fuqaha menggunakan istilah wathan sukna (وطن السكنى), yaitu tempat yang disinggahi oleh seorang mufasir dengan menginap beberapa lama, namun tanpa berniat untuk menetap atau bermukim disitu.
وَزَوْجُةكَ
Lafazh zaujuka (زَوْجُكَ) terdiri dari kata zauj (زوج) yang bermakna pasangan dan ka (كَ) yang berarti kamu, sehingga maknanya menjadi : pasanganmu.
Sebenarnya kata zauj (زوج) itu terbilang bentuk mudzakkar sehingga bisa dimaknai sebagai suami. Sedangkan bentuk muannats- nya adalah zaujah (زوجة) sehingga bisa dimaknai sebagai istri.
Namun dalam ayat ini kita menemukan bahwa Allah SWT tidak membedakan mudzakkar dan muannats , sehingga ketika menyebut Hawa yang menjadi pasangan Nabi Adam, tetap disebut dengan zauj dan bukan zaujah .
Tentu saja tidak ada pun yang mengatakan bahwa pasangan Nabi Adam itu laki-laki, nauzdubillah . Pastinya Hawa itu seorang wanita yang bisa hamil dan melahirkan anak. Namun kenapa tidak menggunakan kata zaujah?
Jawabannya bahwa karena makna zauj itu bukan suami atau istri, melainkan maknanya adalah : pasangan. Sehingga tidak mengapa bila menyebut istri dengan zauj saja dan tidak harus dengan kata zaujah .
Penciptaan Hawa
Dalam beberapa kitab tafsir banyak disebut-sebut bagaimana proses terciptanya Hawa sebagai istri Adam. Dan sumbernya disebut dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu ketika menafsirkan surat Al-A'raf berikut ini :
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang padanya. (QS. Al-Araf : 189)
Ketika Adam menempati surga, dia merasa kesepian. Maka ketika sedang tertidur, Allah SWT menciptakan Hawa dari tulang rusuk sebelah kiri. Ketika Adam terbangun dan melihat Hawa, dia bertanya, "Siapa kamu?". Hawa menjawab,"Saya seorang wanita yang diciptakan dari tulang rusukmu agar kamu cenderung tertarik.
Di dalam kitab-kitab hadits shahih seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kita menemukan sabda Nabi SAW yang demikian itu.
Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan Layanan Pelanggan dan Layanan Pelanggan يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
Berwasiatlah kalian terhadap para wanita dengan itu, karena para wanita itu terbentuk dari tulang rusuk. Dan sesuatu yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika Anda bertindak untuk meluruskannya, maka Anda akan memecahkannya (mematahkannya). Namun jika kamu membiarkannya, maka selamanya dia akan bengkok. Maka berwasiatlah kalian terhadap para wanita dengan kebaikan. (HR Imam Bukhari)
الْجَنَّةَ
Lafazh jannah dalam ayat ini dan juga dalam kebanyakan ayat lain dalam Al-Quran umumnya diterjemahkan sebagai surga, yaitu tempat yang Allah SWT sediakan untuk kita orang-orang yang beriman ketika sudah berada di akhirat nanti.
Allah SWT menyebutkan jannaat dalam bentuk jamak taksir, yang dipahami bahwa surga itu tidak hanya satu, melainkan ada beberapa. Yang disebutkan dalam Al-Quiran diantaranya
Namun kalau kita telusuri lebih dalam, ternyata ada juga kata jannah di dalam Al-Quran yang bukan bermakna surga, tetapi bermakna kebun di dunia ini yang banyak tumbuhan dan pepohonan. Setidaknya ditemukan hingga 30-an ayat berbeda yang menyebut jannah sebagai kebun dan bukan sebagai surga yang abadi di akhirat nanti. Silahkan buka kembali catatannya ketika membahas ayat 25 surat Al-Baqarah.
Pendapat Muktazilah dan Qadariyah
Jumhur ulama sepakat bahwa surga yang ditempati Adam dan istrinya adalah surga yang abadi dan akan kita tempati nanti di alam akhirat setelah kiamat. Namun kelompok Muktazilah dan Qadariyah punya pendapat yang berbeda. Mereka menolak konsep surga akhirat dan meyakini bahwa surga tempat tinggal Adam dan Hawa itu justru adanya di bumi ini.
Rupanya ada juga kalangan yang agak setuju dengan mereka, lantaran kedua kelompok itu menggunakan ayat Al-Quran untuk mendukung pendapatnya yang keluar dari pendapat jumhur. Misalnya mereka berhujjah bahwa surga abadi nanti itu di dalamnya tidak ada dusta.
لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا
Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. (QS. An-Naba : 35)
Padahal iblis itu menggoda Adam dengan cara berdusta mengatakan bahwa buah yang dilarang itu karena bisa bikin hidup dan kerajaan yang abadi. Padahal ternyata itu hanya hasil karangan Iblis saja.
Selain itu surga abadi yang nantinya akan kita masuki juga punya karakter unik, bahwa siapa yang sudah masuk ke dalamnya, maka tidak akan pernah keluar lagi. Dan pernyataan seperti itu merupakan bagian dari ayat Al-Quran juga.
Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya. (QS. Al-Hijr : 48)
Padahal Iblis dikeluarkan, begitu juga Adam dan Hawa pun juga dikeluarkan dari surga. Itu menunjukkan bahwa surga yang dimaksud bukan surga abadi di akhirat nanti.
وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا
Lafazh kulaa (كُلاَ) adalah fi'il amr yang merupakan perintah yang asal katanya dari (أكل - يأكل - أكلا) yang bermakna makan. Sedangkan lafazh minha (منها) terdiri dari kata min (من) yang bermakna 'dari', dan dhamir ha (ها) yang merupakan kata ganti dari surga.
Karena pada ayat sebelumnya Allah SWT memerintahkan Adam untuk masuk ke dalam surga. Sehingga ketika Allah SWT memerintahkan Adam untum memakan apa yang tersedia di dalamnya, tentu saja maksudnya yang ada di dalam surga.
Lafazh raghadan (رغدا) oleh para mufassir dimaknai secara berbeda, demikian juga dalam terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia, kita temukan perbedaan terkait makna kata ini.
Kementerian Agama RI : menerjemahkannya menjadi : "makanlah dengan nikmat ".
Buya HAMKA : menerjemahkan menjadi : "dengan senang sesuka-sukamu berdua".
Qurasih Shihab : menerjemahkannya menjadi : "makanlah darinya yang banyak".
حَيْثُ شِئْتُمَا
Lafazh haitsu (حَيْثُ) adalah zharfu makan yaitu kata keterangan yang menunjukkan tempat. Sedangkan lafazh syi'tuma (شِئْتُمَا) bermakna : "kamu berdua kehendaki".
Kalimat ini bisa dipahami bahwa Allah SWT mengizinkan kepada Adam dan Hawa untuk memakan apa yang ada di surga, dimana pun letak dan posisinya.
وَلَا تَقْرَبَا
Lafazh laa (لاَ) adalah lanahiyah yaitu tidak yang bermakna larangan, sehingga lebih tepat diterhemahkan menjadi : : "Janganlah". Sedangkan taqrabaa (تَقْرَبَا) adalah fi'il nahi yang bermakna mendekat. Sehingga laa taqrabaa (لاَ تَقْرَبَا) maknanya : "Janganlah kamu berdua mendekat".
Para ahli bahasa mengatakan bahwa mendekat ini bisa dibaca dengan dua macam ucapan. Pertama, kalau dibaca dengan fathah pada huruf ra' menjadi yaqrabu (يَقْرَبُ) maknanya : mendekati. Kedua, bila dibaca dengan dhammah pada huruf ra' menjadi yaqrubu (يَقْرُبُ) maknanya menjadi condong ke arahnya.
Namun inti dari larangan ini sama saja yaitu dilarang memakan buah dari pohon itu, meskipun bahasa yang digunakan hanya melarang mendekati pohonnya saja. Dan melarang melakukan sesuatu dengan hanya melarang mendekatinya ternyata bukan hanya sekali ini saja.
Kalau kita perhatikan ada beberapa kali Allah SWT melarang suatu perbuatan dengan ungkapan dilarang mendekati.
Lalu pertanyaannya : apa hikmah di balik penggunaan larangan mendekati sesuatu, padahal maksudnya bukan sekedar mendekat tapi larangan melakukannya?
Para ulama tafsir umumnya mengatakan ada beberapa hikmah yang bisa disebutkan, sebagai berikut :
1. Kerasnya Larangan
Bahwa perbuatan yang dimaksud memang benar-benar perbuatan terlarang bahkan dosanya besar sekali bisa sampai melakukannya. Setidaknya larangannya akan terasa lebih serius kalau dikatakan : "Jangan dekati pohon itu", ketimbang hanya mengatakan : "Jangan makan buah itu".
Logikanya tentu kalau baru mendekat ke pohonnya saja pun sudah dilarang, apalagi sampai memakan buahnya, tentu jauh lebih terlarang lagi. Ungkapan ini dikatakan oleh sebagian kalangan dengan istilah : mafhum muwafaqah.
Walaupun ada sebagian orang yang ingin menghina atau melecehkan Al-Quran yang justru menggunakan logika terbalik, yaitu yang haram itu mendekati pohonnya sedangkan makan buahnya tidak haram. Logika mafhum mukhalafah seperti ini tentu tidak dibenarkan.
2. Saddu Adz-Dzari'ah : Mencegah Yang Belum Terjadi
Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan mendekati pohon itu memang bukan inti larangan. Yang jadi inti larangan adalah memakan buahnya. Namun meski pun demikian, memakan buah terlarang itu tidak mungkin bisa dilakukan bila tanpa mendekat dulu ke pohonnya.
Oleh karena itulah dalam syariat Islam ditegaskan bahwa jalan untuk sampai kepada perbuatan yang terlarang itu harus dihalangi sejak sebelum sampai ke titik larangan itu sendiri. Dan prinsip ini merupakan salah satu sumber hukum syariah yang banyak digunakan oleh para ulama, khususnya dalam hal ini mazhab Maliki.
هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ
Lafazh hadzihi (هذه) merupakan kata tunjuk yang menunjukkan jarak yang cukup dekat. Setidaknya Nabi Adam sendiri pun bisa melihat pohon yang dimaksud. Intinya pohon yang dimaksud bukan hanya disebutkan nama pohonnya saja, tetapi juga langsung ditunjuk juga bendanya secara langsung.
Sedangkan pohon apakah yang dimaksud, rupanya para mufassir tidak pernah sepakat dalam memahaminya.
Anggur : ini adalah pendapat Ibnu Mas'ud, Said bin Jubair dan As-Suddi.
Gandum : ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Al-Hasan dan kebanyakan mufassirin.
Tin : ini adalah pendapat Qatadah dan Ibnu Juraij yang menisbahkannya kepada banyak dari para shahabat.
فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Sebagian ulama mengatakan bahwa kezhaliman itu sekedar dosa atas pelanggaran yang dilakukan oleh Adam dengan memakan buah yang sudah dilarang untuk memakannya.
Namun sebagian lagi mengatakan bahwa kezhaliman itu maksudnya adalah dosa besar yang akan mengakibatkan pelakunya harus menerima hukuman dari Allah SWT yaitu dikeluarkan dari surga.