Tetapi (taatilah Allah swt.), Allah adalah Pelindung kamu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong
                
                    Kata bal (بَلِ) diartikan secara berbeda-beda. Kemenang RI menerjemahkannya menjadi : namun, sedangkan Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : tetapi. Adapun Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi :  bahkan. Secara ilmu Nahwu namanya harfu idhrab (حرف إضراب)  yang fungsinya membatalkan apa yang disebutkan pada kalimat sebelumnya.
Kata Allahu maula-kum (اللَّهُ مَوْلَاكُمْ) artinya : Allah adalah pelindung kalian. Istilah maula di masa kenabian biasanya digunakan untuk menyebut tuan pemilik budak. Posisinya sudah seperti orang tua sendiri dalam hal hak untuk menguasai jiwa dan raga si budak.
Dan para budak di masa itu sering disebut dengan istilah mawali, dimana jiwa raga mereka menjadi milik tuannya secara harfiyah. Oleh karena itulah maka budak perempuan itu halal disetubuhi oleh tuannya tanpa dinikahi dan tanpa dinafkahi, karena pada hakikatnya mereka bukan istri melainkan aset harta benda.
Budak-budak ini lantas bisa diperjual-belikan, dihadiahkan, dipertukarkan, sebagai layaknya hewan peliharaan atau komoditas barang perdagangan. Apapun yang terjadi, budak itu tetap milik tuannya. Bahkan meski ada budak yang kabur dari tuannya, secara hukum syariah, budak itu harus dikembalikan lagi kepada maula-nya. Dan bila budak itu dibunuh orang, maka tuannya berhak mendapatkan uang penggantian atas kerugiannya.
Bedanya secara fisik mereka bertubuh manusia. Para tuan yang jadi pemilik barang dagangan inilah yang disebut dengan istilah maula.
Maka di dalam Al-Quran, ketika disebutkan bahwa Allah adalah maula mereka, karena diibaratkan mereka tidak lain adalah seperti budak dengan tuannya. Allah adalah tuan dan kita ini adalah budaknya, kalau terjadi apa-apa pada diri kita, maka kita punya tuan yang akan melindungi kita. Sebab bila seorang tuan tidak melindungi budaknya, maka dia akan mengalami kerugian harta.
                 
                    Makna wa huwa (وَهُوَ) adalah : dan Dia, maksudnya Allah SWT sebagai Tuhan yang memiliki kita dan menjadi pelindung kita.
Makna khairu (خَيْرُ) adalah sebaik-baik, sedangkan makna an-nashirin (النَّاصِرِينَ) merupakan bentuk jamak dari bentuk tunggalnya an-nashir (النَّاصِرِ) yang artinya : penolong. Dikatakan bahwa Allah SWT itu sebaik-baik penolong, dalam konteks ayat ini memang konotasinya lebih cenderung kepada pertolongan dalam peperangan menghadapi musuh.
Salah satunya Allah SWT telah menolong kaum muslimin dalam Perang Badar dengan cara diberi berbagai macam kekuatan, mulai dari hujan, rasa aman, rasa ngantuk sampai turunnya seribu malaikat ikut berperang.
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. (QS. Ali Imran : 123)
Namun pertolongan Allah SWT tidak selalu dengan mudah dipahami sekilas. Kadang pertolongan itu datang dengan cara yang unik dan tidak terlintas dalam benak kita. Ada saja jalan Allah SWT untuk memberikan pertolongan kepada hamba-Nya, bahkan dengan cara yang tidak diduga-duga sebelumnya.
Maka dalam Perang Hunain, ketika pasukan muslimin banyak mengalami tekanan dan kelemahan disana-sini, justru disitulah ada pertolongan dari Allah SWT.
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. (QS. At-Taubah : 25)
Maka Ibnu Asyur ketika membahas contoh pertolongan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, bisa dengan cara bermacam-macam cara. Penulis tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir[1]ini mengutip sebuah hadits Nabi SAW terkait dengan ‘menolong orang yang zalim’.
انْصُرْ أخاكَ ظالِمًا أوْ مَظْلُومًا فَقالَ بَعْضُ القَوْمِ: هَذا أنْصُرُهُ إذا كانَ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أنْصُرُهُ إذا كانَ ظالِمًا ؟ فَقالَ أنْ تَنْصُرَهُ عَلى نَفْسِهِ فَتَكُفُّهُ عَنْ ظُلْمِهِ
Tolonglah saudaramu, baik dia zalim atau dia terzalimi. Sebagian ada yang bertanya,”Orang terzalimi bisa kita tolong, tapi bagaimana dengan menolong orang zalim?”. Nabi SAW menjawab,”Kamu menolong dia dengan cara mencegah dari kezaliman yang dilakukannya.
 
[1] Ibnu Asyur (w. 1393 H), At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis, Darut-Tunisiyah li An-Nasyr, Cet-1, 1984)