Kemenag RI 2019:Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kufur, niscaya mereka akan mengembalikan kamu ke belakang (murtad). Akibatnya, kamu akan kembali dalam keadaan merugi. Prof. Quraish Shihab:
Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu menaati orang-orang yang kafir, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (murtad), maka jadilah kamu orang-orang yang rugi.
Prof. HAMKA:
Wahai orang-orang yang beriman! Jikalau kamu ikuti orang orang yang kafir itu, niscaya mereka akan memutarkan kamu atas tumit kamu. Maka, akan terpalinglah kamu dalam keadaan rugi.
Ketika mendapati kaum muslimin terdesak dalam Perang Uhud, ada sekelompok orang kafir yang memberi saran kepada kaum muslimin untuk berhenti dari mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Alasannya karena kalau agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW memang benar datang dari sisi Allah, mana mungkin bisa dikalahkan dalam peperangan.
Tentu saja perkataan ini datang dari pihak musuh, yang sedang gencar melancarkan berbagai macam serangan, bukan hanya lewat senjata perang tetapi juga dengan senjata propaganda dan psy-war untuk menjatuhkan mentalitas kaum muslimin.
Memang ada beberapa dari pasukan muslimin yang sempat terpengaruh dengan ajakan untuk berhenti jadi orang Islam. Namun Allah SWT menegaskan sekali lagi bahwa omongan orang kafir itu tidak usah didengarkan, karena bisa membawa kalian jadi murtad keluar dari agama Islam. Dan kalau sampai benar-benar kejadian, dipastikan akan merugi habis-habisan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Lafazh ya ayyuha (يَآأَيُّهَا) merupakan sapaan atau nida’. Fungsinya untuk menegaskan siapa yang menjadi lawan bicara, maka sebelum disampaikan apa yang menjadi isi pembicaraan, lawan bicaranya itu disapa terlebih dahulu. Untuk mudahnya penerjemahan dalam Bahasa Indonesia sering dituliskan menjadi : “wahai”.
Sedangkan lafazh alladzina(الَّذِينَ) dimaknai menjadi ‘yang’ atau lengkapnya : “orang-orang yang”. Dan lafazh aamanu (آمَنُوا) merupakan kata kerja yang bentuknya lampau alias fi’il madhi yaitu dari asal (آمَنَ - يُؤْمِنً). Makna kata kerja itu adalah : “melakukan perbuatan iman”. Namun sudah jadi kebiasaan dalam penerjemahan disederhanakan menjadi : “orang-orang yang beriman”. Padahal kalau “orang yang beriman”, secara baku dalam bahasa Arab itu disebut mu’min (مُؤْمِن) dan bukan alladzina amanu.
Sapaan yang menjadi pembuka ayat ini menunjukkan siapa yang diajak bicara atau mukhathab oleh Allah SWT, yaitu orang-orang yang beriman, yang di masa turunnya ayat itu tidak lain adalah para shahabat nabi ridhwanullahi ‘alaihim. Di dalam Al-Quran terdapat tidak kurang dari 89 kali Allah SWT menyapa dengan sapaan (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا).
إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا
Huruf in (إِنْ) disebut huruf syarat yang men-jazam-kan fi’il mudhari’, baik fi’il mudhari yang menjadi syarat atau yang disyaratkan. Makna huruf in (‘ن) sendiri adalah : jika.
Kata tuthi’uu (تُطِيعُوا) adalah kata kerja fi’il mudhari’ yang majzum berbaris sukun pada huruf terakhirnya oleh karena adanya huruf in di awalnya. Maknanya : mentaati, mematuhi. Maka kalau digabung maknanya menjadi : jika kamu mentaati.
Yang jadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan kaum muslimin dilarang mematuhi orang kafir? Dalam hal apa?
Jawabannnya adalah bahwa orang-orang kafir itu mengatakan kepada kaum muslimin yang kalah dalam Perang Uhud untuk berhenti saja jadi pengikut Nabi Muhammad. Karena sudah terbukti bahwa agama Islam ini tidak benar. Bagaimana bisa dikatakan agama Islam itu benar, padahal faktanya Nabi SAW yang seharusnya punya mukjizat dan mendapatkan pertolongan dari langit, ternyata kalah dalam perang dan sama sekali tidak ada mukjizat pertolongan dari langit.
Intinya mereka beri nasehat bahwa sudah waktunya bagi para pengikut fanatik Muhammad SAW untuk mundur saja, tidak usah lagi jadi pengikut Muhammad SAW. Percuma saja jadi pengikut kalau terbukti kalah dalam perang. Padahal yang namanya nabi utusan Allah tidak mungkin kalah, karena pastinya dikawal oleh Tuhan.
Lafazh al-ladzina kafaru (الَّذِينَ كَفَرُوا) artinya : orang-orang kafir. Dalam hal ini ada tiga pendapat tentang siapakah orang kafir yang dimaksud. Ibnul Jauzi dalam tafsir Zadul Masir[1] menuliskan tiga pendapat itu, yaitu :
1. Orang-orang Munafik
Ibnu Abbas dan Muqatil mengatakan bahwa orang-orang kafir itu maksudnya adalah orang-orang munafik dan tokohnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika mendengar kabar kekalahan kaum muslimin, mereka pun mengatakan bila Muhammad itu benar-benar seorang nabi utusan Allah, seharusnya mereka tidak bisa dikalahkan oleh musuhnya. Bagaimana mungkin nabi bisa kalah melawan musuhnya.
Rupanya sebagian dari kaum muslimin yang imannya masih lemah, sempat juga teracuni pikirannya oleh ucapan yang keluar dari mulut para tokoh munafikin. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini agar jangan pernah mendegarkan perkataan mereka.
Namun pendapat Ibnu Abbas ini ada sedikit masalah, sebab orang-orang munafik itu sendiri statusnya tidak kafir. Mereka itu muslim, sementara ayat ini menyebut dengan tegas : jika kamu menaati orang-orang kafir.
Mereka pun menjawab bahwa pada hakikatnya orang-orang munafik di masa kenabian bukan muslim tapi kafir, karena masuk Islamnya mereka hanya sekedar berpura-pura saja. Dan tentang kekafiran mereka, Allah SWT dengan tegas menyatakan dalam surat Al-Munafiqun :
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (QS. Al-Munafiqun : 3)
2. Orang-orang Yahudi
Ibnu Juraij mengatakan bahwa orang kafir yang dimaksud dalam ayat ini tidak adalah ahli kitab alias orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Diriwayatkan bahwa ketika mendengar kabar kalahnya pasukan muslimin dalam perang Uhud, mereka lebih suka bila kaum muslimin ini kembali lagi menganut agama nenek moyangnya, yaitu agama syirik penyembah berhala.
Dan ini menjadi titik persimpangan penting bagi kalangan ahli kitab, mengingat justru sebelumnya mereka lah yang berharap besar kepada agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. Awalnya mereka membuka diri kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan sepakat mengangkat Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Madinah.
Awalnya mereka amat menghormati Beliau SAW, karena biar bagaimana pun mereka pasti menghormati para nabi dan rasul sepanjang sejarah. Dan syariah yang turun kepada Nabi SAW waktu itu mereka anggap punya banyak kesamaan dengan agama yang mereka anut.
Namun di tengah jalan mereka malah berbalik memusuhi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya, bahkan malah berharap agar mereka kembali lagi saja kepada agama nenek moyang bangsa Arab.
3. Orang-orang Musyirikin Arab
As-Suddi mengatakan bahwa mereka adalah orang kafir musyrikin penyembah berhala. Bagi kaum musyrikin Arab sendiri mereka pun sebenarnya masih berharap besar agar Nabi SAW dan para pengikutnya sadar dan kembali lagi menjadi penyembah berhala dan agama peninggalan nenek moyang.
Namun ketiga pendapat itu bisa saja benar semua. Dan bila yang melakukannya orang Yahudi dan Nasrani pun sangat dimungkinkan juga. Sebab mereka tidak suka dengan kehadiran Nabi SAW di Madinah, walaupun pada awalnya masih suka dan menerima risalah. Bahkan kalau ada istilah orang murtad, maka Yahudi dan Nasrani lah contoh yang tepat.
Namun masuk akal juga kalau orang-orang musyrikin Mekkah pun turut mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka pastinya ikut-ikutan mengompori kaum muslimin yang sedang jatuh mental untuk menanggalkan keimanan kepada agama Islam dan kembali memeluk agama leluhur nenek moyang.
Lafazh yarudduu-kum (يَرُدُّوكُمْ) terdiri dari kata kerja fi’il mudhari’ berikut juga dengan objeknya, yaitu dhamir kum (كُمْ) yang maknanya : kamu, yaitu kaum muslimin pengikut Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan kata ‘alaa (عَلَىٰ) secara harfiyah berarti di atas, namun dalam hal ini maknanya disesuaikan dengan kata kerjanya, sehingga maktanya tidak harus selalu di atas. Kata a’qabikum (أَعْقَابِكُمْ) merupakan bentuk jamak, bentuk tunggalnya adalah (عَقِب) yang artinya : mata kaki.
Tentu kalau diterjemahkan menjadi : berbalik di atas mata kaki, maknanya menjadi rusak. Sebab ternyata ini merupakan ideom yang sudah jadi dan maknanya : berbalik ke belakang. Dan umumnya para ulama menafsirkannya menjadi : murtad keluar dari agama Islam.
Rupanya usaha orang kafir dalam menghalangi kaum muslimin itu tidak pernah berhenti, bahkan mereka yang sudah menjadi muslim sekalipun masih saja diharapkan menjadi murtad kembali.
فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
Huruf fa (فَ) artinya : maka. Kata tanqalibuu (تَنْقَلِبُوا) merupakan fi’il mudhari’ yang bermakna berbalik atau kembali pulang. Sebagaimana di dalam Al-Quran dituliskan bacaan lafazh doa ketika kita melakukan perjalanan jauh.
Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami". (QS. Az-Zukhruf : 14)
Yang menarik bahwa posisinya menjadi fi’il mudhari’ majzum, yaitu harakat pada huruf terakhirnya berbaris sukun (ـْ). Padahal umumnya fi’ilmudhari’ seharusnya berharakat dhammah pada huruf terakhir. Yang membuatnya menjadi mazjum karena statusnya ma’thuf dengan fi’il mudhari sebelumnya yaitu yaruddukum (يَرُدُّوكُمْ). Dan adanya huruf in () di awal kalimat yaitu (إن تطيعوا...).
Kata khasirin (خَاسِرِينَ) artinya : orang-orang yang merugi. Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib[1] menuliskan bahwa resiko kerugian bagi orang yang murtad itu ada dua, yaitu kerugian duniawi dan ukhrawi.
Kerugian dunia adalah jatuhnya nama besar kita di mata manusia, sehingga orang tidak lagi menghargai kita. Harus rela disebut sebagai pecundang.
Selain itu secara hukum Islam, bila ada orang yang murtad setelah sebelumnya menjadi muslim, maka ancaman hukumannya tidak main-main yaitu hukuman mati. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW berikut ini :
Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal: jiwa dibalas dengan jiwa (qishash), orang yang sudah menikah tetapi berzina, dan orang yang meninggalkan agama (murtad) serta memisahkan diri dari jamaah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mekanismenya tentu harus lewat persidangan di bawah hakim yang resmi diangkat oleh negara. Tentu lewat berbagai macam pembuktian yang diterima secara hukum. Bukan berarti orang murtad langsung dipenggal.
Sedangkan kerugian di akhirat bagi orang murtad sudah jelas, yaitu matinya sebagai orang kafir yang membuat semua pahala amal shalih jadi gugur. Seolah-olah dia tidak pernah shalat, puasa, zakat, haji dan berbagai amal ibadah lainnya. Semua otomatis terhapus begitu saja begitu dia murtad dan mati dalam keadaan murtadnya itu.
Lain halnya bila ada orang sempat murtad, tetapi kemudian dia masuk Islam lagi. Maka semua amalnya tetap masih utuh seperti sedia kala, asalkan nanti di bagian akhir dari hidupnya dia mati secara Islam.
Selain itu hukuman di akhirat bagi mereka yang murtad sama dengan orang yang matinya kafir. Mereka menjadi penghuni neraka secara abadi, tidak pernah bisa keluar dari sana. Seperti ituah yang Allah SWT tegaskan di dalam ayat Al-Quran berikut ini :
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 217)
Dan hal itu berbeda dengan orang yang matinya secara Islam, kalau dia mati, mungkin karena terlalu berat beban dosa yang dipikulnya, dia untuk sementara diadzab di neraka. Namun begitu semua dosanya sudah ditebus di neraka, segera dia dikeluarkan dan dipindahkan ke surga.
Maka mati dalam keadaan kafir atau murtad adalah mati yang merugi habis-habisan. Istuilahnya rugi dunia akhirat.