Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
                Katakanlah, "Hendaklah kamu taat · kepada Allah dan Rasul. Akan tetapi, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir."
                
                    Lafazh qul (قُلْ) adalah perintah dalam bentuk fi’il amr dari asalnya (قَالَ - يَقُول)  dan maknanya berkata, sehingga qul itu adalah perintah untuk berkata,”Katakanlah”. Yang memerintah adalah Allah SWT dan yang diperintah adalah Nabi Muhammad SAW.
Lafazh athi’ullah (أَطِيعُوا اللَّه) bermakna : taatilah Allah, maksudnya jalankan apa-apa yang Allah SWT perintahkan kepada kamu serta jauhi apa-apa yang Allah SWT larang dari kamu.
Sedangkan lafazh ar-rasul (الرَّسُولَ) artinya : yang diutus, dalam hal ini maksudnya adalah Nabi Muhammad SAW. Karena memang hanya Beliau seorang saja yang menjadi utusan Allah SWT pada saat ayat ini diturunkan.
Ath-Thabari dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan menungkapkan bahwa kepada Nabi SAW Allah SWT memerintahkan agar berkata kepada orang-orang Nasrani dari Najran untuk taat kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad SAW.
Keinginan mereka untuk beriman kepada Allah itu menuntut konsekuensi yang bersifat teknis, yaitu juga harus mentaati utusan-Nya. Sebab iman kepada Allah SWT itu harus berwujud ketaatan. Tidak ada iman tanpa ketaatan. Tidak taat berarti tidak beriman.
Dan secara teknis, mentaati Allah SWT itu harus lewat ketaatan kepada perintah Nabi Muhammad SAW. Islam tidak mengenal pemisahan ketuhanan dan kerasulan. Bertuhan berarti harus juga berasul, tidak ada ketuhanan tanpa kerasulan Muhammad SAW. Keduanya satu paket yang utuh dan tidak bisa dipilah-pilah.
Apalagi ditambah bahwa berita tentang kenabian Muhammad SAW sudah tertulis dalam semua kitab terdahulu, termasuk juga tertulis di dalam kitab Injil yang turun kepada Nabi Isa alaihissalam.
Al-Quran sendiri menceritakan bahwa Nabi Isa sejak 600-an tahun sebelumnya sudah mengabarkan akan datangnya nabi terakhir bernama Ahmad.
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ
Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". (QS. Ash-Shaf : 6)
                 
                    Lafazh fa-in tawallau (فَإِنْ تَوَلَّوْا) artinya : namun jika mereka berpaling, maksudnya jika mereka tidak mau masuk mentaati Nabi Muhammad SAW, maka mereka termasuk orang yang kafir dan tidak berhak disebut sebagai orang-orang yang beriman.
Lafazh fainnallaha (فَإِنَّ اللَّهَ) artinya : maka sesungguhnya Allah, lalu makna : la yuhibbul kafirin (لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ) artinya : tidak mencintai orang-orang kafir.
Ada dua makna yang terkandung sekaligus dalam penggalan penutup ayat ini :
	- Pertama, bahwa sikap tidak mau mentaati Nabi Muhammad SAW itu adalah bentuk kekafiran dan menjadikan mereka resmi sebagai orang kafir.
- Kedua, bahwa Allah SWT tidak mencintai orang kafir, yaitu mereka yang tidak mentaati Nabi Muhammad SAW.