Kemenag RI 2019:Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. ) Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu ) mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. Prof. Quraish Shihab:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah), menjadi amanlah dia; mengerjakan haji menuju Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu bagi) yang mampu mengadakan perjalanan ke sana; barang siapa kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (dan tidak butuh) pada seluruh alam.
Prof. HAMKA:
Disana ada tanda-tanda yang nyata, tempat berdiri Ibrahim; dan barang siapa yang masuk ke nya, amanlah dia. Dan karena Allah wajib atas manusia pergi haji ke rumah itu, yaitu siapa yang sanggup menuju ke sana. Dan barang siapa yang kugur, maka sesungguhnya Allah adalah Mahakaya dari sekalian makhluk.
Umumnya para ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang pertama kali turun terkait dengan kewajiban melaksanakan ibadah haji, walaupun mereka tidak sepakat tentang kapan masa turunnya ayat ini. Sebagian ada yang mengatakan ayat ini turun setelah perang Uhud di tahun ketiga. Namun umumnya mengatakan ayat ini turun setelah Perang Khandaq di tahun kelima atau masuk tahun keenam.
Yang disepakati para ulama bahwa Nabi SAW baru melaksanakan perintah berhaji di tahun kesepuluh, yaitu tertunda selama empat tahun.
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ
Lafazh fiihi (فِيهِ) secara harfiyah berarti : di dalamnya. Meskipun dhamirnya kembali kepada bait (بيت) yang berarti rumah, namun yang dimaksud bukan hanya sebatas bangunan Ka’bah saja, melainkan maksudnya adalah Masjid Al-Haram secara keseluruhan. Penyebutan Baitullah atau rumah Allah itu mengacu kepada Masjid Al-Haram dan bukan hanya sebatas bangunan Ka’bah.
Kata ayaat (آيَاتٌ) berbentuk jamak, yang artinya tanda-tanda. Berarti jumlahnya tidak hanya satu. Namun ada juga qiraat yang membacanya dengan ayatun bayyinatun (آيَةٌ بَيِّنَةٌ) dalam bentuk mufrad alias hanya satu saja, sehingga tanda yanng dimaksud hanya satu yaitu maqam Ibrahim saja. Mereka adalah ahlu Mekkah, Ibnu Abbas, Mujahid dan Said bin Jubair.
Sedangkan jumhur ulama membacanya dengan jama’, maka kata bayyinat (بَيِّنَاتٌ) juga dalam bentuk jamak. Asalnya dari kata bayyinah (بينة) yang diartikan oleh Kemenag RI menjadi : jelas, sedangkan Prof. Quraish Shihab dan Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : nyata.
Lantas apa yang dimaksud dengan tanda-tanda itu?
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tanda-tanda adalah keajaiban demi keajaiban yang seperti mukjizat. Misalnya antara lain :
1. Mata Air Zamzam : Betapa uniknya mata air Zamzam ini, karena tiba-tiba muncul begitu saja dari perut bumi, sehingga istri Nabi Ibrahim, yaitu ibunda Ismail, Hajar bisa menyambung hidupnya. Dengan munculnya mata air di tengah gurun tandus, berdatanganlah burung-burung untuk minum. Hal itu kemudian memancing para kafilah yang melintasi gurun untuk mampir istirahat, di antaranya suku Jurhum sudi mampir dan menghuni tempat tersebut menjadi kota Mekkah.
2. Terlindungi : Baitullah itu terlindungi dari upaya-upaya orang yang ingin merobohkannya. Salah satunya bagaimana Allah SWT merontokkan Raja Abrahah dengan kekuatan tentara bergajah sebagaimana diungkapkan dalam surat Al-Fiil.
3. Hajar Aswad : salah satu tanda adalah terdapatnya batu hitam yang asalnya bukan dari bumi tetap berasal dari surga. Batu ini dimuliakan namun tidak pernah disembah oleh bangsa Arab, meskipun bangsa Arab rajin menyembah batu. Konon batu itu awalnya putih, namun menjadi hitam karena dosa-dosa manusia.
4. Awan Hujan : Bila ada awan hujan pada sudut (rukun) tertentu dari Ka'bah, maka itu tanda bahwa negeri yang searah dengan sudut (rukun) itu menjadi subur. Misalnya hujan turun di sudut (rukun) Yamani, maka tanah di Yaman subur. Begitu juga bila turun di rukun Syam, maka tanah di Syam subur. Sedangkan jika hujan merata ke seluruh Baitullah, maka tanah di seluruh negeri subur.
5. Burung-burung : Jalur lintasan terbangnya burung-burung akan berbelok dengan sendirinya bila mengaja melewati atas Ka’bah.
6. Hewan Buruan : Selamatnya hewan-hewan yang diburu oleh hewan liar bila berlari mendekati Baitullah. Maka hewan-hewan pemburu itu akan berhenti mengejarnya.
Dan masih banyak lagi tanda-tanda keajabian dari Baitullah kalau mau disebutkan. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘tanda-tanda’ bukanlah hal-hal yang terkait dengan keajaiban seperti di atas, melainkan tempat-tempat suci yang mengandung nilai ritual, seperti Shafa dan Marwah, Padang Arafah, Muzdalifah, Mina dengan tiga tempat untuk melontarnya.
مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ
Kata maqamu ibrahim (مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ) artinya adalah maqam Ibrahim. Istilah maqam Ibrahim ini terdiri dari kata (مَقَامُ) merupakan ism zaman yang menunjukkan waktu atau ism makan yang menunjukkan tempat dari asal katanya (قام – يقوم). Kalau dijadikan ism makan, maka secara harfiyah artinya tempat berdiri.
Istilah maqam tidak hanya selalu berarti tempat berdiri, dalam banyak ayat Al-Quran, kita menemukan kata maqam yang juga bermakna tempat duduk, seperti pada ayat berikut :
Berkata ´Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". (QS. An-Naml : 39)
Bisa juga kata maqam ini berarti tempat tinggal, seperti di ayat berikut :
mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. (QS. Al-Furqan : 76)
Maqam juga bisa berarti posisi atau kedudukan seseorang dalam suatu tatanan masyarakat, seperti pada ayat berikut :
وَكُنُوزٍ وَمَقَامٍ كَرِيمٍ
dan (dari) perbendaharaan dan kedudukan yang mulia, (QS. Asy-Syuara : 58)
Dalam pandangan para ulama, yang dimaksud dengan maqam ibrahim (إِبْرَاهِيمَ) ada beberapa pendapat yang saling berbeda, antara lain :
§ Haji Keseluruhan : ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.
§ Arafah, Muzdalifah dan Mina : ini adalah pendapat ‘Atha’ dan Asy-Sya’bi
§ Tanah haram keseluruhannya : ini adalah pendapat Mujahid
§ Batu : batu yang digunakan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam untuk naik ketika membangun Ka’bah.
Para ulama mengatakan mengatakan batu itu bukan sembarang batu, tetapi batu yang bisa terbang naik dan turun sebagaimana forklift bekerja. Hal itu mengingat bahwa bangunan Ka’bah itu cukup tinggi, yaitu sekitar 15 meter, dengan panjang dan lebar sekitar 13 meter kali 11 meter. Kalau dibandingkan dengan bangunan rumah yang umumnya 3 meteran, maka bangunan Ka’bah itu seukuran bangunan lima lantai.
Untuk itu Nabi Ibrahim dan Ismail membutuhkan semacam derek atau katrol untuk bisa mengerek batu-batu besar naik ke atas bangunan, satu demi satu. Konon Allah SWT memberinya mukjizat berupa batu yang bisa naik turun, namun sekaligus juga mengikat dua kaki Nabi Ibrahim agar tidak terpeleset atau terjatuh. Maka kedua kakinya agak terbenam di dalam batu itu.
Prof. Quraish Shihab menuliskan terkait batu maqam Ibrahim sebagai berikut :
Sebenarnya, beliau dapat dinilai telah menyelesaikan tugas dengan baik jika meninggikannya sepanjang tangan beliau dapat menjangkau, tetapi nabi mulia itu ingin menyempurnakan amalnya sehingga beliau mengambil batu tempat berpijak agar mampu berdiri lebih tinggi lagi. Allah swt. tidak membiarkan Ibrahim as. tanpa bantuan.
Niat yang suci itu disambut Allah, bahkan diabadikan bekasnya. Untuk bertahan agar tidak jatuh, kaki harus mantap sehingga batu tempat kaki beliau berpijak dimantapkan Allah, sedemikian rupa, sehingga telapak kaki beliau "tenggelam." ke dalam batu, dan batu itu sendiri mantap tidak bergerak.
Tentang tingginya bangunan Ka’bah, memang disebutkan dalam ayat lain :
(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail. (QS. Al-Baqarah : 127)
Ada yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berusaha meninggikan bangunannya bukan sekedar ingin bermegah-megah, namun agar bisa nampak dari kejauhan oleh orang yang lewat. Demikian seperti yang diungkap oleh Prof. Quraish Shihab dalam Al-Mishbahnya.
وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا
Kata wa-man (وَمَنْ) artinya : dan siapa saja. Tidak peduli dia orang Arab atau bukan Arab, juga tidak peduli dia seorang muslim atau dia ahli syirik penyembah berhala.
Dan kata dakhalahu (دَخَلَهُ) artinya : memasukinya. Namun para ulama berbeda pendapat tentang objeknya, apakah yang dimaksud itu hanya sebatas Masjid Al-Haram saja, ataukah keseleruhan ‘tanah haram’? Yang pasti bukan masuk ke dalam bangunan Ka’bah itu sendiri.
Sebagian mengatakan maksudnya adalah masuk ke dalam bangunan Masjid Al-Haram, walaupun bangunannya dari masa ke masa selalu mengalami perluasan. Bahkan banyak juga yang mengatakan sampai batas ketersambungan shaf-shafnya, sehingga di masa sekarang ini, shaf shalat bisa sampai ke pekuburan Ma’la yang jaraknya sudah cukup jauh dari bangunan Masjid.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud memasukinya adalah memasuki wilayah haram dan bukan hanya sebatas bangunan masjid saja. Adapun batas-batas tanah haram itu adalah miqat makani, yaitu Tan’im yang berjarak kurang lebih 5 km dari Masjid Al-Haram, Ju’ranah yang berjarak 22 km dari Masjid Al-Haram dan Hudaibiyah berjarak 25 km Masjidil Al-Haram.
Ungkapan kaana amina (كَانَ آمِنًا) secara bahasa artinya : maka dia aman, atau menjadi amanlah dia. Namun tentang hubungan antara orang yang masuk dengan keamanan, rupanya para ulama berbeda pendapat.
1. Kepastian Aman
Lafazh kaana (كان) dijadikan sebagai sebuah kepastian, sehingga maknanya : siapa yang memasukinya maka dipastikan dia aman. Nampaknya tiga versi terjemahan nampaknya kompak memaknainya sebagai konsekuensi, yaitu siapa yang memasukinya dijamin aman.
2. Zaman Dahulu Pernah Aman
Namun sebagian ulama ada juga yang berbeda memaknainya, yaitu adanya lafazh kaana (كان) menunjukkan kurun waktu, yaitu di masa lalu alias di masa jahiliyah. Kesannya bahwa dahulu kata, siapa yang memasukinya maka dia aman, entah dengan sekarang ini, apakah masih aman atau tidak. Buktinya, bahwa telah banyak terjadi pertumpahan darah disana, sehingga kurang tepat kalau dimaknai sebagai jaminan.
3. Seharusnya Aman
Sebagian ulama ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah : seharusnya dan bukan dipastikan, sehingga lengkapnya menjadi : siapa yang memasukinya, ‘seharusnya’ dia aman. Namun kalau sampai tidak aman, tentu hal itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
4. Harus Bikin Aman
Sebagian ahli ma’ani juga ada yang mengatakan bahwa kata amina merupakan sebuah perintah. Maka cara membacanya menjadi : siapa yang memasukinya, harus menjaga keamanan.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Kata wa lillahi (وَلِلَّهِ) artinya : dan hanya untuk Allah. Kita diajarkan untuk melafazhkan niat suatu ibadah tertentu lengkap dengan ungkapan lillahi ta’ala (لله تعالى) yang artinya hanya untuk Allah ta’ala. Misalnya lafazh niat haji atau umrah sebagai berikut :
Aku berniat haji dan umrah dan berihram dengannya karena Allah ta’ala.
Namun uniknya di ayat ini, ungkapan lillahi (لله) justru diletakkan di awal kalimat dan bukan di belakang. Sebagian ulama mengatakan bahwa maksudnya bahwa ibadah haji itu lebih ditekannya semata-mata untuk mentaati perintah Allah SWT.
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa intinya bukan masalah niat dan motivasi, melainkan urusan hak dan kewajiban, karena setelah itu ada pasangannya yaitu li (لـِ) dan ‘ala (على).
Lafazh ‘alan-nasi (على الناس) secara makna harfiyah artinya : atas manusia. Namun dalam struktur bahasa Arab, kata ‘ala (على) bisa dimaknai menjadi kewajiban, sedangkan huruf lam (ل) bisa bermakna lawannya yaitu hak. Dikatakan laka alayya (لك عليّ) artinya : hakmu dan kewajibanku, sebaliknya kalau dikatakan li ‘alaika (لي عليك) artinya hak Aku dan kewajibanmu. Maka makna lillahi alannasi (لله على الناس) artinya : hak Allah dan kewajiban manusia.
Menarik untuk membahas kata : ‘alan-nasi (على الناس) yang artinya : wajib atas manusia. Apa yang dimaksud dengan manusia? Bukankah dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa syarat wajib haji hanya terbatas kepada mereka yang beragama Islam, sedangkan non muslim tidak terkena kewajiban? Lebih dari itu, anak-anak pun tidak wajib menjalankan haji, termasuk juga budak. Lalu mengapa Allah SWT menyebutkan haji itu kewajiban atas manusia?
Untuk menjawab hal ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama :
Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat ini menjadi dasar bahwa yang termasuk mukhatab atau diajak bicara serta terkena taklif syar’i pada dasarnya bukan hanya mereka yang sudah memeluk agama Islam saja, namun orang-orang kafir non muslim pun termasuk mukhatab juga.
Namun demikian, apabila mereka, maksudnya orang-orang kafir itu, begitu saja menjalankan ibadah haji, tentu tidak sah juga. Sebab ada syarat sah yang menghalangi, yaitu bahwa orang yang menjalankan ibadah haji harus muslim. Bila tidak muslim, maka hajinya tidak sah. Lagi pula bagaimana dia bisa menjalankannya, padahal untuk masuk tanah haram saja pun tidak diperkenankan.
Kesimpulannya, orang-orang kafir itu nanti diadzab di neraka, bukan hanya karena statusnya sebagai orang kafir, tetapi juga karena mereka meninggalkan detail-detail perintah agama.
Namun ada juga pendapat lain, bahwa haji diwajibkan atas manusia itu maksudnya kewajiban ini bukan hanya berlaku bagi orang Arab saja, tetapi juga berlaku untuk bangsa-bangsa lain yang bukan Arab. Namun tentunya yang sudah masuk agama Islam.
Alasannya karena selama ini ritual ibadah haji memang hanya dikerjakan oleh bangsa Arab saja, sedangkan bangsa lain di luar bangsa Arab, tidak pernah melakukan ibadah haji kesana. Termasuk juga kalangan ahli kitab atau Yahudi yang banyak tinggal di Madinah kala itu. Mereka itu terkena kewajiban untuk mengerjakan ibadah haji ke Mekkah, bukan ke Baitul Maqdis.
Jawaban ini memang relevan bila kita kaitkan dengan ayat yang lain dalam Al-Quran :
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (QS. Al-Baqarah : 125)
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. Al-Hajj : 27)
مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Lafazh man istatha’a (مَنِ اسْتَطَاعَ) artinya : orang yang mampu, sedangkan makna ilaihi (إِلَيْهِ) adalah kepadanya, maksudnya kepada Baitullah alias rumah Allah. Dan makna sabila (سَبِيلًا) artinya : jalan. Biasanya empat kata ini diterjemahkan secara sederhana menjadi : jika mampu.
Sebenarnya ungkapan man istatha’a ilaihi sabila (مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا) punya kaitan yang sangat erat dengan kata ‘alan-nasi (على الناس) yang artinya : kewajiban atas manusia. Kewajiban ini tidak lagi hanya berlaku buat bangsa Arab semata, tetapi juga berlaku juga buat bangsa-bangsa lain selain Arab. Lantas siapakah mereka?
Mereka yang disebut ‘selain bangsa Arab’ di masa itu adalah orang-orang yang tinggal jauh dari negeri Arab, diantaranya manusia yang jadi bangsa Romawi di negeri Syam, mereka umumnya adalah para ahli kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani.
Selain itu yang juga bukan Arab adalah umat manusia yang tinggal di negeri Persia, dimana mereka kala itu umumnya memeluk agama Majusi yang menyembah api.
Selain itu yang termasuk bukan Arab di masa itu adalah negeri Mesir yang umumnya juga memeluk Nasrani, termasuk juga Habasyah di Afrika yang memeluk agama Nasrani.
Dan termasuk juga bukan bangsa Arab di masa itu sebagian wilayah yang kini disebut negeri Yaman, dimana mereka juga memeluk agama Nasrani. Orang-orang Yaman di masa itu mendirikan kiblat sendiri, namun ternyata yang datang ke Mekkah jauh lebih banyak. Karena itulah ada pasukan bergajah yang datang ke negeri Arab untuk meruntuhkan Ka’bah.
Di balik semua itu nantinya ada negeri India, China dan juga Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan seterusnya.
Bangsa-bangsa ini ketika sudah memeluk Islam nanti, kalau harus datang ke Baitullah, mereka harus menempuh perjalanan yang sebegitu jauhnya. Oleh karena itu dibalik kewajiban haji, ternyata disertakan juga dengan keringanan, yaitu hanya yang mampu untuk berjalan sampai ke Baitullah saja yang wajib berhaji.
Itulah yang disebutkan dalam ayat lain, bahwa yang datang ke Baitullah nantinya adalah orang-orang yang datang dari negeri yang jauh.
Seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya,"Ya Rasulallah, hal-hal apa saja yang mewajibkan haji?". Beliau menjawab,"Punya bekal dan punya tunggangan". (HR. Tirmizy)
Seseorang bertanya,"Ya Rasulallah, apa yang dimaksud dengan sabil (mampu pergi haji) ?". Beliau menjawab,"Punya bekal dan tunggangan. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Bekal adalah apa yang bisa menghidupi selama perjalanan, baik makanan, minuman atau pakaian. Sedangkan tunggangan adalah kendaraan yang bisa dinaiki untuk mengantarkan diri sampai ke Baitullah di Mekkah.
Para ulama banyak yang merinci tentang kriteria mampu menjadi beberapa hal, antara lain mampu secara fisik (badan), mampu secara harta, dan juga mampu secara keadaan, yakni keadaan yang aman dan kondusif. Dan ditambah satu lagi tentang bentuk mampu yang khusus disyaratkan untuk para wanita yang akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Lafazh wa-man kafara (وَمَنْ كَفَرَ) diterjemahkan secara berbeda-beda dengan pengertian yang juga berbeda.
Kemenag RI 2019 menerjemahkannya menjadi : “siapa yang mengingkari (kewajiban haji)”. Penjelasannya bahwa Allah SWT mewajibkan haji bukan hanya kepada para shahabat yang muslim saja, tetapi juga kepada semua orang. Adh-Dhahhak menjelaskan bahwa ketika turun ayat tentang kewajiban haji, Nabi SAW mengumpulkan para pemeluk enam agama yang berbeda, yaitu kaum muslimin, Nasrani, Yahudi, Shabi’in, Majusi dan Musyrikin. Lalu Beliau SAW pun berkhutbah,”
Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan kalian untuk berhaji, maka berhajilah”.
Maka kaum muslimin pun berhaji sedangkan lima agama lain pada kafir.
Sedangkan Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya lebih harfiyah yaitu : “dan siapa yang kafir”. Dengan demikian ayat ini menjadi dasar hukum bahwa mengingkari kewajiban haji akan beresiko kepada kekafiran. Sebab haji itu memang salah satu rukun Islam yang lima, dimana jumhur ulama sepakat bahwa mengingkari salah satu rukun Islam yang lima akan beresiko sampai kepada kekafiran.
Pandangan ini diperkuat dengan hadits nabi SAW berikut :
Siapa yang mati dalam keadaan belum berhaji, maka matilah dia bila ingin sebagai Yahudi atau sebagai Nasrani.
Adapun Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : “siapa yang kufur”.
Makna fa-innallaha (فَإِنَّ اللَّهَ) artinya : maka sesungguhnya Allah. Adapun kata ghaniyyun (غَنِيٌّ) sering diterjemahkan menjadi : kaya. Namun makna aslinya merasa cukup dan tidak butuh. Sehingga lebih tepat bila diterjemahkan : Allah SWT tidak merasa butuh kepada mereka.
Lafazh ‘anil-‘alamin (عَنِ الْعَالَمِينَ) secara harfiyah artinya : dari semua alam. Namun terjemahan versi Buya HAMKA agak berbeda. Beliau menerjemahkannya menjadi : “dari sekalian makhluk”.
Terjemahan ini nampaknya sangat beralasan kalau kita kaitkan dengan kalimat pada ayat ini secara lengkap, yaitu bila ada para pemeluk agama lain tidak mau ikut berhaji, maka Allah tidak butuh mereka.