Kemenag RI 2019:Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali untuk ditaati dengan izin Allah. Seandainya mereka (orang-orang munafik) setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Nabi Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Prof. Quraish Shihab:Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sesungguhnya, jika seandainya mereka (orang-orang munafik) ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Nabi Muhammad SAW) lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat, lagi Maha Pengasih. Prof. HAMKA:Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun, melainkan supaya ditaati dengan izin Allah. Dan jika mereka itu, sesudah menganiaya diri mereka sendiri, datang kepadamu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun (pula) untuk mereka, niscaya mereka akan mendapati Allah adalah Pemberi taubat lagi Penyayang.
Kalau kita membaca ayat ke-64 ini secara sekilas, boleh jadi kita mengira bahwa ayat ini berdiri sendiri tanpa ada kaitan dengan ayat sebelumnya. Mengingat tiba-tiba temanya berubah dari bicara tentang perilaku kaum munafikin dengan tema bahwa Allah SWT mengutus rasul untuk ditaati.
Namun banyak ulama dan salah satunya Ibnu Asyur menegaskan bawah keterkaitan ayat ke-64 ini dengan ayat sebelumnya amat jelas, yaitu membicarakan keingkaran kaum munafikin yang tidak mau bertahkim kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka di ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa tidaklah seorang rasul itu diutus kecuali untuk dita’ati, termasuk berserah diri atas apa yang telah Nabi SAW putuskan dalam perkara hukum.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ
Lafazh wa ma (وَمَا) artinya : dan tidaklah. Kata arsalna (أَرْسَلْنَا) adalah kata kerja dalam bentuk fi’il madhi, asalnya dari kata (أرسل – يرسل) artinya : Kami mengutus.
Kata ‘Kami’ disini maksudnya adalah Allah SWT. Memang kata ganti ‘Kami’ mengesankan pelakunya bukan hanya satu individu, melainkan lebih dari satu bahkan banyak jumlahnya. Padahal kita tahu bahwa Allah SWT itu Tuhan Yang Maha Esa, tidak berbilang dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka yang jadi pertanyaan disini : kenapa Allah SWT membahasakan diri-Nya dengan kata ganti : ‘Kami’?
Dalam hal ini ada beberapa alternatif jawaban yang bisa saja saling mendukung atau saling berbeda.
Jawaban Pertama : bahwa yang namanya kata ganti atau dhamir itu sebenarnya tidak ada satupun yang cocok untuk menyebut Allah. Bahkan kata ganti huwa (هو) yang konotasinya hanya satu sekalipun tidak cocok juga. Sebab kata huwa (هو) juga menunjukkan jenis kelamin laki-laki. Padahal Allah SWT sendiri tidak berjenis kelamin. Hanya saja dalam cara kita menyebut nama-Nya, kita pinjam kata ganti orang kedua dan ketiga dengan jenis kelamin laki-laki.
Di dalam surat Al-Ikhlas, Allah SWT memerintahkan kita menyebut diri-Nya dengan kata ganti huwa menjadi (قل هو الله أحد). Begitu juga dalam doa dan permohonan yang kita panjatkan kepada-Nya di dalam surat Al-Fatihah, kita diperintah menyapa diri-Nya dengan kata ganti orang kedua laki-laki yaitu anta (إياك نعبد وإياك نستعين).
Jawaban Kedua : bahwa dalam tehnik mengutus seorang utusan, baik dia berstatus sebagai nabi atau rasul, tentunya melibatkan banyak pihak, setidaknya para malaikat di langit dan khususnya adalah malaikat Jibril alaihissalam yang membawakan wahyu samawi dari langit ke bumi. Keterlibatan mereka yaitu para malaikat dalam proyek pengutusan seorang nabi ataupun rasul, tentunya menjadikan ungkapan ‘Kami’ menjadi sejalan dan selaras.
Jawaban Ketiga : bahwa kata ganti ‘Kami’ secara rasa bahasa tidak harus menunjukkan jumlah pelaku, tetapi juga bisa untuk menunjukkan kebesaran pelaku. Maka ketika Allah SWT menyebut diri-Nya sendiri dengan sebutan ‘Kami’, maksudnya untuk menunjukkan kebesaran, keagungan dan juga kekuasaan-Nya.
Kata min rasulin (مِنْ رَسُولٍ) artinya : dari seorang rasul. Kata rasul sendiri merupakan bentukan dari tiga huruf yang menjadi akar katanya yaitu huruf ra’ (ر), huruf sin (س) dan huruf lam (ل). Sedangkan kata rasul (رسول) itu berarti : orang yang diutus.
Antara Nabi dan Rasul
Tentang istilah nabi dan rasul, sebagian kalangan ada yang memandang sama saja posisi dan statusnya. Namun dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW membedakan antara keduanya :
Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapa jumlah rasul yang diutus?" Beliau menjawab, "Tiga ratus lima belas, jumlah yang banyak." Dalam riwayat lain: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapa jumlah nabi yang diutus oleh Allah?" Beliau menjawab, "Seratus dua puluh empat ribu nabi, dan di antara mereka ada tiga ratus lima belas rasul." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)
Adapun apa yang membedakan antara nabi dan rasul, para ulama berbeda-beda dalam memberikan batasan. Berikut ini beberapa petikan dari penjelasan mereka.
Al-Khattabi dalam A'lam al-Hadis menuliskan bahwa perbedaan antara nabi dan rasul adalah bahwa nabi adalah seseorang yang diberi wahyu dan diberi kabar, sementara rasul adalah yang diperintahkan untuk menyampaikan apa yang ia terima. Maka setiap rasul adalah nabi, tetapi tidak setiap nabi adalah rasul.".
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bari menuliskan bahwa nabi adalah seseorang yang diberi kabar oleh Allah tentang suatu perkara yang memerlukan tugas tertentu. Jika ia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada orang lain, maka ia adalah rasul. Jika tidak, maka ia adalah nabi tanpa menjadi rasul. Maka setiap rasul adalah nabi, namun tidak sebaliknya. Karena nabi dan rasul berbagi dalam satu hal umum, yaitu menerima kabar, namun mereka berbeda dalam hal tugas kerasulan.
Ibnu al-Mulqin dalam al-Mu’in 'ala Tafahhum al-Arba'in menuliskan bahwa rasul berarti seorang yang diperintahkan untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, dia lebih spesifik daripada nabi, karena rasul adalah seseorang yang diberi wahyu untuk diamalkan dan disampaikan, sedangkan nabi hanya diberi wahyu untuk diamalkan..
Sebagian ulama mengatakan bahwa keduanya sama-sama diberi wahyu dan sama-sama diperintahkan untuk menyampaikan, namun rasul juga membawa kitab dari Allah, sedangkan nabi tidak. Ada juga yang mengatakan bahwa rasul menerima kitab atau wahyu melalui malaikat, sedangkan nabi diberi wahyu tanpa kitab, atau mengikuti rasul lain.
Al-'Aini dalam al-Binayah Syarh al-Hidayah menuliskan perbedaan antara rasul dan nabi adalah bahwa rasul diutus untuk menyampaikan wahyu dan membawa kitab, sedangkan nabi diutus untuk menyampaikan wahyu, baik dengan kitab atau tanpa kitab.
Asy-Syinqiti dalam Adhwa' al-Bayan menuliskan bahwa pendapat yang mengatakan nabi adalah seseorang yang menerima wahyu tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, lalu rasul adalah nabi yang diperintahkan untuk menyampaikan wahyu, itu adalah pendapat yang tidaklah benar. Dasanya karena Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran sebagai berikut :
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. (QS. Al-Hajj : 52)
ِAsy-Syinqithi mengklaim bahwa ayat di atas menunjukkan bahwa keduanya sama-sama diutus, meskipun ada perbedaan antara keduanya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi yang juga seorang rasul adalah seseorang yang menerima kitab dan syariat independen dengan mukjizat yang membuktikan kenabiannya. Sedangkan nabi yang bukan rasul adalah seseorang yang tidak menerima kitab, tetapi diberi wahyu untuk mengajak umat mengikuti syariat rasul sebelumnya, seperti para nabi Bani Israil yang diutus untuk mengamalkan Taurat, sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya: “Para nabi yang berserah diri memutuskan dengan Taurat.”
Perbedaan lainnya adalah bahwa rasul diutus untuk menyampaikan pesan kepada umat yang mendustakan, sedangkan nabi diutus untuk menyampaikan tanpa ada risalah baru kepada umat yang mendustakan.
Ibnu Taimiyah dalam al-Nubuwwat menuliskan bahwa nabi adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah dan ia menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah. Jika ia diutus kepada orang yang menentang perintah Allah untuk menyampaikan risalah dari Allah, maka ia adalah rasul. Jika ia hanya mengamalkan syariat sebelumnya dan tidak diutus untuk menyampaikan risalah baru, maka ia adalah nabi, bukan rasul.
Rasul adalah orang yang diutus untuk menyampaikan risalah kepada orang yang menentang Allah, sebagaimana ayat berikut
Demikianlah tidak ada seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka kecuali mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang penyihir atau orang gila.” (QS. Adz-Dzariyat: 52).
إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
Lafazh illa (إِلَّا) artinya : kecuali. Ini merupakan salah satu alat untuk menyatakan istitsna’ alias pengecualian. Kata li yutha’a (لِيُطَاعَ) artinya : untuk ditaati.
Sebenarnya ungkapan ini tidak berarti satu-satunya tujuan seorang rasul diutus hanya untuk ditaati saja. Sebab kita juga menemukan ayat lain yang sama-sama menggunakan gaya bahasa seperti ini juga, tetapi untuk menjadi pembawa kabar gembira, pemberi peringatan dan sebagai rahmat.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS. Al-Isra : 105) dan (QS. Al-Furqan : 56)
Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan. (QS. Asy-Syura : 48)
Namun karena secara konteks, ayat ini sedang bicara tentang perilaku buruk kalangan kaum munafikin di Madinah, khususnya mereka enggan berhukum atau bertahkim kepada Nabi Muhammad SAW, maka ayat ini lebih menegaskan sisi bahwa diutusnya seorang rasul itu yang paling utama adalah untuk ditaati.
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
Kata walau annahum (وَلَوْ) artinya : seandainya mereka. Kata idz zhalamu (إِذْ ظَلَمُوا) artinya : ketika berlaku zalim. Kata anfusahum (أَنْفُسَهُمْ) artinya : kepada diri mereka sendiri.
Kezaliman yang dimaksud adalah menolak untuk bertahkim kepada Nabi Muhammad SAW dan malah memilih untuk menjadikan Ka’ab bin Al-Asyraf yang merupakan tokoh Yahudi dan bersedia memutuskan perkara berdasarkan nilai sogokan yang ditawarkan.
Kenapa hal semacam ini menjadi sebuah kezaliman? Jawabannya karena menolak berhukum kepada Nabi SAW itu sebenarnya sudah masuk ke tindakan subversi alias melawan hukum yang resmi dan berlaku. Pelaku tindak subversi dimana-mana pastinya berhak untuk dihukum seberat-beratnya, bahkan sampai ke level hukuman mati.
Maka kalau sampai terkena hukuman berat di dunia karena ulahnya, itulah yang dinamakan bahwa dia telah : menzalimi diri sendiri.
Di sisi yang lain, tindakan seperti itu pastinya akan mendapatkan ancaman hukuman bukan hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Dan ketika mereka masuk neraka karena ulahnya, disitulah makna menzalimi diri sendiri benar-benar telah terjadi.
جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ
Kata jaa-uu-ka (جَاءُوكَ) artinya : mereka mendatangi kamu. Mereka adalah orang-orang munafik dan kamu dalam hal ini adalah Nabi Muhammad SAW. Datangnya mereka bukan sekedar meminta maaf dan mencari-cari alibi atas tindakan keliru mereka. Tetapi datangnya untuk minta ampun dan bertaubat kepada Allah.
Kata fastaghfarullah (فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ) artinya : kemudian mereka meminta ampun kepada Allah. Ungkapan ini menjadi syarat bahwa kalau mau dimaafkan oleh Nabi SAW atas kesalahan fatal yang mereka lakukan, nomor satu mereka harus bertaubat kepada Allah SWT terlebih dahulu.
Dan yang namanya bertaubat itu utamanya adalah mengakui kesalahan, bukan mencari-cari alasan pembenaran atas apa yang dilakukan.
Yang jadi masalah, kaum munafikin itu memang datang kepada Nabi SAW dan menemui Beliau. Tetapi tujuannya bukan mengakui kesalahan, apalagi minta ampun, tetapi malah mencari-cari alasan pembenaran atas kesalahan. Maka minta ampun itu beda dengan membela diri. Yang namanya minta ampun itu pertama kali harus mengakui dulu kesalahan, baru kemudian minta ampun. Sedangkan tindakan bela diri itu artinya sama sekali memang tidak mau mengakui kesalahan. Dan selama belum mau mengakui kesalahan, tentu tidak ada kamus minta ampun.
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
Kata was-taghfara lahum (وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ) artinya : dan memintakan ampunan bagi mereka. Kata ar-rasul (الرَّسُولُ) maksudnya adalah Rasulullah SAW.
Oorang yang sudah bertaubat kepada Allah SWT dengan sebenar-benar taubat, tentunya dipastikan akan mendapatkan ampunan. Maka yang jadi pertanyaan disni, kepada masih harus ada permohonan ampunan kepada Allah SWT yang dimintakan oleh Rasulullah? Bukankah sudah cukup untuk langsung minta ampun kepada Allah?
Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib[1] menyebutkan bahwa kesalahan yang orang-orang munafikin itu bukan sekedar melanggar ketentuan Allah semata, tetapi kesalahan yang langsung melanggar wewenang Rasulullah SAW, yaitu tidak mau bertahkim kepadanya dan malah memilih bertahkim kepada thgahut.
Maka yang mereka butuhkan bukan sekedar Allah SWT mengampuni, tetapi mereka juga harus mendapatkan pengampunan dari pihak yang mereka zalimi yaitu Rasulullah SAW. Namun bentuk pengampunan dari Rasulullah SAW menjadi sangat unik, yaitu bukan Beliau memberi ampun, tetapi Beliau memintakan ampunan kepada Allah SWT buat mereka.
Lafazh la wajadu (لَوَجَدُوا) terdiri dari dua unsur, yaitu huruf lam yang kemudian diartikan menjadi : pastilah. Unsur berikutnya adalah kata wajadu (وَجَدُا) yang sebenarnya adalah kata kerja dalam bentuk fi’il madhi, yang asalnya dari kata (وَجَدَ - يَجدُ) yang berarti : mereka mendapati.
Yang menjadi objek atau maf’ul bihi adalah lafzhul-jalalah yaitu lafazh Allah.
Kata tawwaban (تَوَّابًا) artinya : Maha Pemberi taubat. Kata rahiman (رَحِيمًا) artinya : Maha Penyahang. Sebagian ulama mengatakan bahwa kedua sifat itu saling terkait, yaitu bahwa Allah SWT itu Maha menerima taubat karena pada dasarnya Dia adalah Tuhan Yang Maha kasih sayang. Dan karena Dia Maha kasih sayang, makanya Dia siap menerima taubat hamba-Nya.
Yang unik dari penggalan yang jadi penutup ayat ini bahwa Allah SWT menggunakan ungkapan : “mereka menemukan Allah Maha Penerima Taubat dan Maha penyayang”. Bahwa Allah SWT itu memang punya banyak sifat, termasuk sifat-sifat yang saling bertentangan. Misalnya Allah itu bisa saja bersifat Maha Pemaaf tetapi juga Maha membalas dengan siksa.
Maka pada ayat inilah semua itu bisa terjawab. Kadang ada orang yang mendapati Allah SWT sebagai Tuhan yang membalas dengan siksa, tetapi juga bisa mendapati Allah SWT sebagai Tuhan yang lebih dekat ke sisi menerima taubat. Semua itu tergantung dari apa yang dilakukan si hamba tersebut. Kalau dia minta ampun, maka akan nampak dari sudut pandangnya bahwa Allah SWT Maha Pengampun.
Sebaliknya jika dia tidak mau minta ampun, maka Tuhan yang dilihat dari sudut pandangnya adalah Tuhan yang membalas dendam dengan ancaman siksaan dibakar di dalam neraka.
Namun selama seorang pendosa mengakui kesalahan dan minta ampun, sudah pasti Allah SWT tidak akan menjatuhkan adzab dan siksa, sebagaimana firman Allah berikut ini :