Kata fa kaifa idza (فَكَيْفَ إِذَا) secara teks bahasa di kamus dan secara apa adanya berarti : “maka bagaimana jika”. Seolah-olah ini merupakan pertanyaan. Namun di balik teks itu, secara rasa bahasa, ungkapan ini sebenarnya merupakan pertanyaan. Ini adalah ungkapan ancaman atau teror yang menggunakan gaya pertanyaan. Pertanyaan digunakan utnuk memperkuat efek dramatis atau kesan besar terhadap sesuatu yang sedang dibahas.
Tujuan pertanyaan ini bukan untuk meminta jawaban, tetapi justru untuk menimbulkan kesan dahsyat atau memperhebat sesuatu, wujudnya untuk membuat terkejut atau mengundang rasa kagum yang kuat.
Ibnu Asyur dalam tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir [1] menuliskan bahwa kata kaifa (كَيْفَ) yang maknanya ‘bagaimana’ adalah khabar dari mubtada’ yang dihapus, yang sudah diketahui dari konteks pembicaraan. Maknanya menjadi : ‘bagaimana keadaan mereka ketika musibah menimpa mereka akibat perbuatan yang mereka lakukan?'.
Maka pertanyaan ini digunakan untuk menunjukkan tahwil alias ancaman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam firman Allah Ta'ala:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ
"Maka bagaimana (halnya) apabila Kami mendatangkan saksi dari setiap umat?" (QS. An-Nisa: 41).
Ungkapan : kaifa bika ('كيف بك') yang maknanya : ‘bagaimana halnya denganmu’ digunakan ketika ingin memberikan kabar gembira atau ancaman, sebagai bentuk keheranan atau untuk menakut-nakuti. Contoh yang bentuk kabar gembira adalah perkataan Nabi SAW kepada Suraqah bin Malik:
كيْفَ بِكَ إذا لَبِسْتَ سِوارَيْ كِسْرى
Bagaimana halnya denganmu ketika kamu memakai dua gelang Kisra,"
Ini merupakan bisyarah alias kabar gembira bahwa gelang-gelang Kisra akan jatuh ke tangan tentara kaum Muslimin. Ketika dua gelang Kisra dibawa dalam ghanimah (harta rampasan perang) dari penaklukan Persia, Umar bin Khattab memakaikan gelang-gelang tersebut kepada Suraqah bin Malik sebagai wujud terwujudnya mukjizat Nabi SAW.
Sedangkan yang menjadi ancaman, contohnya adalah apa yang Allah SWT firmankan dalam ayat berikut :
فَكَيْفَ إذا جَمَعْناهم لِيَوْمٍ لا رَيْبَ فِيهِ
"Maka bagaimana halnya apabila Kami kumpulkan mereka pada suatu hari yang tidak ada keraguan di dalamnya?" (QS. Ali Imran : 25)
Kata ashabat (أَصَابَتْْ) adalah kata kerja dalam bentuk fi’il madhi, asalnya dari (أَصَابَ - يُصِيْبُ) artinya : menimpa. Yang jadi objek atau maf’ul bihi adalah kata ganti orang ketiga yaitu dhamir hum (هُمْ) yang maknanya adalah : mereka. Dan yang dimaksud dengan mereka disini tidak lain adalah kalangan orang-orang munafik, yang sudah diceritakan keadaannya di ayat-ayat sebelumnya.
Maka mushibah (مُصِيبَةٌ) artinya sama yaitu musibah juga, karena sudah menjadi serapan ke dalam Bahasa Indonesia.
Fakhruddin Ar-Razi di dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib[2] menuliskan bahwa yang dimaksud dengan mushibah di ayat ini adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Umar kepada orang munafik yang tidak ridha dengan keputusan hukum dari Nabi SAW.
Kisah ini sudah kita bahas di ayat sebelumnya, dimana ada dua orang yang berseteru, yaitu seorang dari kalangan Yahudi dan seorang dari kalangan muslim tetapi dia munafik bernama Bisyr. Orang Yahudi itu maunya masalah mereka diselesaikan oleh Nabi SAW, sebagai hakim resmi di Madinah, sedangkan si munafik ini malah maunya berhukum kepada thaghut, yang dalam hal ini seorang tokoh dari pembesar Yahudi bernama Ka’ab bin Al-Asyraf.
Singkat cerita akhirnya mereka berdua sempat bertahkim kepada Nabi SAW, namun si munafik ini tidak menerima apa yang telah diputuskan. Sehingga kemudian dia meminta Abu Bakar untuk mengoreksi ulang apa yang telah diputuskan oleh Nabi SAW. Ternyata keputusan dari Abu Bakar pun sama saja dengan keputusan dari Nabi SAW. Maka si munafik ini pun menolak apa yang telah diputuskan Abu Bakar.
Kemudian dia berpikir untuk meminta keputusan hukum dari Umar bin Al-Khattab yang dikiranya bisa diajak kompromi dan memberikan keputusan yang berbeda dari apa yang telah diputuskan oleh Nabi SAW dan Abu Bakar.
Ternyata keputusan dari Umar memang tidak sama dengan keputusan Nabi SAW atau Abu Bakar, karena Umar langsung memenggal leher si munafik ini. Maka matilah dia di tangan Umar.
Dikisahkan bahwa ketika Umar membunuh si munafik itulah, maka keluarganya merasa tidak terima dan datang mengadu kepada Nabi SAW demi untuk bisa menuntut Umar atas darah yang tertumpah.
Dalam hal ini apa yang dilakukan Umar membunuh si munafik itu mendapatkan pembenaran langsung dari langit, dengan turunnya Malaikat Jibril alaihissalam dan secara khusus memberikan gelar kepaa Umar bin Al-Khattab sebagai : al-faruq (الفاروق), yaitu orang yang punya sikap tegas dan memberi perbedaan.
Namun ada juga pendapat lain, yaitu dari Ali Al-Jubba’i, bahwa yang dimaksud dengan musibah adalah bahwa Nabi SAW tidak akan membawa orang-orang munafik itu ke dalam peperangan, dan bahwa beliau memberikan penghinaan tambahan kepada mereka serta mengusir mereka dari kehadirannya.
Secara umum, penggalan ayat seperti ini menyebabkan kehinaan besar bagi mereka, sehingga hal itu termasuk dalam musibah-musibah mereka. Mereka tertimpa musibah ini karena kemunafikan mereka.
[1] Ibnu Asyur (w. 1393 H), At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis, Darut-Tunisiyah li An-Nasyr, Cet-1, 1984)
[2] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H)
Kata tsumma (ثُمَّ) artinya : kemudian. Kata jaa-uu-ka (جَاءُوكَ) artinya : mendatangi kamu. Mereka yang datang itu adalah orang-orang munafik Madinah, sedangkan yang dimaksud dengan ‘kamu’ disini tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW sendiri.
Ketika disebutkan bahwa orang-orang mendatangi Nabi Muhammad SAW, maksudnya mereka datang tujuannya minta maaf, atau istilahnya di masa sekarang adalah melakukan klarifikasi sambil meminta maaf dan ampunan agar jangan dipersalahkan. Memang begitulah kalau orang sudah bersalah, agar jangan jadi panjang cerita dan perkaranya, ada semacam upaya ‘damai’ yang diajukan. Intinya minta maaf dan mengaku bersalah, sambil cari-cari alasan yang sekiranya membenarkan, atau setidaknya meringankan hukuman buat mereka.
Kata yahlifuna billahi (يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ) artinya : mereka bersumpah dengan menggunakan nama Allah. Buat orang munafik, untuk meyakinkan Nabi SAW sudah biasa bawa-bawa nama Allah, berpura-pura tidak bersalah, sambil berani-beraninya sumpah atas nama Allah.
Kata in aradna (إِنْ أَرَدْنَا) artinya : tidak lah kami menginginkan. Kata illa (إِلَّا) artinya : kecuali. Kata ihsana (إِحْسَانًا) artinya : kebaikan. Kata wa taufiqa () artinya : dan taufiq. Taufiq disini maknanya bukan taufiq dan hidayah, melainkan maknanya adalah : mempersatukan, atau mendamaikan, atau merukunkan.
Maksudnya orang-orang munafik mengelak kalau dipersalahakan, sambil menjelaskan bahwa tindak tanduk mereka berhukum kepada thaghut alias kepada pimpinan Yahudi yaitu Ka’ab bin Al-Asyraf, rupanya punya tujuan yang menurut mereka baik bahkan mulia. Tujuan baik dan mulinya itu adalah dalam rangka ingin menyatukan kedua belah pihak, yaitu menyatukan antara pemeluk Yahudi dan Nabi SAW beserta para shahabat. Kedua belah itu selama ini saling bersitegang dan nyaris terjadi pecah belah dan permusuhan.
Lalu orang munafik yang telah dibeberkan perilaku buruknya oleh Allah, bahwa mereka tidak berhukum kepada Nabi SAW, tetapi kepada thgahut mulai memainkan alibi mereka. Mereka bilang saja bahwa itu semua hanyalah strategi besar mereka, yaitu pura-pura menghargai orang Yahudi dengan pura-pura ingin bertahkim kepada tokoh Yahudi, alih-alih bertahkim kepada Nabi SAW.
Maksud dan tujuan mereka, menurut pengakuan mereka, agar orang-orang Yahudi jatuh simpati kepada umat Islam. Bahwa bisa-bisa saja yang jadi hakim di Madinah itu sosok selain Nabi Muhammad SAW. Tujuannya biar ada rasa keadilan di tengah beberapa pemeluk agama.
Sekilas nampaknya alasan mereka rasa masuk akal dan lumayan logis. Namun Allah SWT langsung memotong dengan ayat ini sambil mengatakan semua alasan itu hanya sekedar apoligia dan pembelaan diri saja. Sama sekali mereka tidak ingin menyatukan antara Yahudi dan kaum muslimin.